Bila Pengkafiran Menjadi Sebuah Fenomena






Bila Pengkafiran Menjadi Sebuah Fenomena
Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari


Ibnu 'Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

((أَيما رجُل قال لِأَخِيْهِ : يَا كَافِرُ, فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا , فَإِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ))

"Apabila seseorang menyeru kepada saudaranya: Wahai kafir, maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya. Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir adanya maka sebutan itu pantas untuknya, bila tidak maka sebutan kafir itu kembali kepada yang mengucapkan." (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6104 dan Muslim no.60)

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu juga menuturkan hal yang sama dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

((مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ , أَوْ قَالَ : عَدُوَّ اللهِ, وَ لَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ))

"Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan: Wahai musuh Allah, sementara yang dituduhnya itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 61)

Di balik kehormatan kaum muslimin yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa ta'ala dan diharamkan sampai hari kiamat ternyata kehormatan tersebut dihinakan, dilanggar ketentuannya oleh jiwa-jiwa yang tidak khawatir akan akibat perbuatannya. Hal ini kita dapati dari jaman dahulu, jaman salafush shalih, sampai hari ini. Masih terngiang di telinga kita, bagaimana pelanggaran kehormatan bahkan sampai pada penghalalan jiwa dan harta yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Islam Jama'ah atau kelompok takfiriyyun lain yang ada pada jaman sekarang. Sedih dan memilukan memang melihat fenomena demikian, mengingat pintu-pintu rumah kaum muslimin tak luput dimasuki oleh para pelanggar kehormatan tersebut.
Agama kita yang mulia sama sekali tidak pernah ridha, bahkan berlepas diri dari pelanggaran kehormatan yang terjadi ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(( إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَ أعْرَاضَكُمْ حَرَمٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا ))

“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram bagi kalian seperti keharaman negeri ini, bulan ini dan hari ini.” (HR. Al-Bukhari no. 68 dan Muslim no. 1679)

Jawaban dari fenomena yang membuat dada terasa sesak ini sangat membutuhkan perhatian kita untuk kembali kepada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Umar dan Abu Dzar radiyallahu ‘anhuma di atas. Kedua hadits tersebut merupakan peringatan keras untuk tidak menjatuhkan vonis kafir terhadap seorang muslim (yang sudah sedemikian mudah dan murahnya kalimat ini di mulut sebagian orang) karena memang permasalahan kekafiran dan keislaman hukumnya kembali kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.
Dialah yang berhak menghukumi di antara hamba-Nya, siapa yang kafir dan siapa yang muslim. Sebagaimana penghalalan dan pengharaman juga berada dalam ketetapan-Nya. Siapa pun tidak diperkenankan menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan.
Demikian pula kita tidak boleh mengkafirkan seseorang ketika dia tidak dihukumi kafir dengan hukum Allah dan tidak menyatakan keislaman seseorang ketika dia tidak termasuk sebagai seorang muslim ketika ditimbang dengan hukum Allah.
Siapa saja yang telah dipastikan keislamannya maka ia tidak boleh difasikkan dan dikafirkan ataupun dikeluarkan dari agama Allah kecuali dengan bukti yang menunjukkan kekufuran dan keluarnya dia dari agama Allah dengan jelas, dan didapati darinya syarat-syarat pengkufuran, dan hilang darinya penghalang demi penghalang yang membuat jatuhnya vonis kafir padanya. Dan tentunya yang bisa melihat permasalahan ini hanyalah para ulama dari kalangan ahli fatwa.
Asy-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Orang yang duduk di majelisku tahu bahwa aku termasuk orang yang paling besar pelarangannya dari (perbuatan) menyandarkan kekafiran, kefasikan dan kemasiatan kepada orang tertentu, kecuali bila diketahui telah tegak hujjah kepadanya yang jika diselisihi seseorang (maka ia) bisa jadi kafir, bisa jadi fasik atau bisa jadi pelaku maksiat." (Lihat Majmu' Fatawa, 3/229)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: "Pengkafiran itu adalah hak Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu tidaklah seseorang itu kafir kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya." (Irsyad Ulil Abshar wal Albab linail Fiqh Biaqrabith Thuruq wa Aysarul Asbab, hal. 198)


Hukuman bagi orang yang mengkafirkan

Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata: “Tidak boleh bermudah-mudah dalam mengkafirkan seseorang karena hal ini akan berdampak atau berakibat kepada dua perkara yang besar:
Pertama, mengadakan kedustaan terhadap Allah ta`ala di dalam hukum, di mana dia menghukumi kafir terhadap orang yang tidak dihukumi kafir oleh Allah ta`ala. Hal ini sama keadaannya dengan orang yang mengharamkan apa yang Allah halalkan, karena menghukumi kafir tidaknya seseorang hanya berada di tangan Allah saja sebagaimana hukum halal dan haram hanya berada di tangan Allah.
Kedua, mengadakan kedustaan terhadap orang yang dihukumi kafir tersebut dengan sifat yang dituduhkan kepadanya, di mana ia mensifati seorang muslim dengan sifat yang berlawanan dengan keadaan sebenarnya. Ia mengatakan: dia kafir, padahal orang ini berlepas diri dari kekafiran, sehingga pantaslah sifat kekafiran itu dikembalikan padanya (orang yang menuduh) berdasarkan hadits di dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin 'Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
((إِذَاكفّر الرَّجُلُ أّخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا))
"Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya.”
Dalam satu riwayat:
((إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ))
“Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir adanya maka sebutan itu pantas untuknya, bila tidak maka sebutan kafir itu kembali kepada yang mengucapkan."

Masih dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

((مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ , أَوْ قَالَ : عَدُوَّ اللهِ, وَ لَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ))

"Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan: 'Wahai musuh Allah', sementara orang yang dituduhnya itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.”

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu 'Umar:
((إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ))
“Bila orang tersebut memang kafir keadaannya,” (yakni) sesuai dengan hukum Allah.
Demikian pula ucapan beliau dalam hadits Abu Dzar:
وَ لَيْسَ كَذَلِكَ))
“Sementara orang yang dituduhnya itu tidaklah demikian,” (yakni bila ditimbang dengan) hukum Allah ta`ala.
Pensifatan kekufuran itu kembali kepadanya bila saudaranya itu terlepas dari tuduhan tersebut. Dan dikhawatirkan sekali ia terjatuh padanya. Karena kebanyakan orang yang begitu bersegera mensifatkan seorang muslim itu kafir merasa bangga dengan amalannya dan memandang remeh amalan orang lain, hingga akhirnya tergabunglah dengannya antara sifat ujub atas amalannya yang terkadang akan mengantarkan pada batalnya amalannya tersebut dan sifat sombong yang menyebabkan ia diazab oleh Allah ta`ala di dalam api neraka.
Sebagaimana datang dalam hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( قَالَ الله عَزَّ وَ جَلَّ : اَلْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَ الْعَظَمَةُ إِزَارِي, فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ))
“Allah Azza wa Jalla berfirman: Kesombongan itu adalah pakaian-Ku dan keagungan itu adalah kain-Ku maka siapa yang menentang-Ku pada salah satu dari keduanya niscaya akan Aku campakkan dia ke dalam neraka.”(Syarhu Kasyfisy Syubuhat, hal. 41-42)
Tidak diragukan lagi, orang yang suka mengkafirkan kaum muslimin maka mereka sendirilah yang kafir, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa bila seseorang mengatakan kepada saudaranya sesama kaum muslimin: “Wahai kafir”, maka kekafiran itu mesti akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Bila memang orang yang dituduh kafir itu sebagaimana kenyataannya maka ia memang kafir, bila tidak maka yang kafir adalah pengucapnya, na'udzubillah.
Karena itu wajib bagi seseorang untuk membersihkan lisan dan hatinya dari mengkafirkan muslimin, jangan ia berbicara dengan perkataan: “Dia kafir.” Dan jangan pula ia meyakini dalam hatinya bahwa seseorang itu kafir semata-mata karena hawa nafsu. Hukum pengkafiran bukan berada di tangan si Zaid, bukan pula di tangan si 'Amr akan tetapi yang berhak dalam hal ini hanyalah Allah dan Rasul-Nya.
Siapa yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya maka ia memang kafir walaupun kita mengatakan dia muslim. Sebaliknya, siapa yang tidak dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka ia tidak kafir walaupun orang mengatakan ia kafir.
Oleh karena itu kita katakan terhadap orang yang mengucapkan, “Wahai kafir,” “Wahai musuh Allah,” kalau memang demikian keadaannya, maka dia seperti yang dikatakan. Namun apabila tidak demikan, maka (ucapan itu) kembali kepada si pengucap, dialah yang kafir, wal ‘iyadzu billah. Dengan demikian ucapan ini termasuk dosa besar bila orang yang dikatakan kafir itu tidaklah demikian keadaannya. (Syarhu Riyadhush Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin, 4/376)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
((لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِفُسُوْقٍ, وَ لاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدت عَلَيْهِ, إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِك))
"Tidaklah seseorang menuduh orang lain fasik dan tidak pula ia menuduh orang lain dengan kekafiran kecuali sebutan itu akan kembali kepadanya, apabila orang yang dituduhkan tidak demikian keadaannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6045)

Beliau menyatakan: "Hadits ini mengandung konsekuensi bahwa siapa yang mengatakan kepada orang lain, “Engkau fasik,” atau “Engkau kafir,” sementara orang yang dicela tersebut tidak seperti yang dikatakan si pencela maka si pencela itulah yang berhak untuk mendapatkan sifat yang ia sebutkan (fasik atau kafir). Namun bila memang orang tersebut seperti yang ia katakan, maka tidak kembali sesuatu pun kepadanya karena ia benar dalam ucapannya. Namun, walaupun perkataan itu tidak dikembalikan padanya, apakah ia kafir atau fasik, bukan berarti dia tidak berdosa dengan penggambarannya terhadap seseorang: “Engkau fasik.” Di dalam permasalahan ini perlu perincian.
- Bila ia berucap dengan tujuan menasehati orang tersebut atau menasehati orang selainnya dengan menerangkan keadaannya maka hal ini dibolehkan.
- Bila tujuannya untuk mencela, memasyhurkannya dengan sebutan demikian dan semata hendak menyakiti maka hal ini tidak dibolehkan karena ia diperintah untuk menutup aib orang lain, mengajari dan menasehatinya dengan cara yang baik. Bila memungkinkan baginya untuk menasehati dengan cara yang lembut maka ia tidak boleh melakukannya dengan kekerasan dan kekakuan, karena hal itu dapat menyebabkan orang tersebut menjadi keras kepala dan terus menerus dalam perbuatannya sebagaimana hal ini merupakan tabiat kebanyakan manusia. Terlebih bila orang yang memerintahkan (menasehati) itu derajatnya lebih rendah daripada orang yang dinasehati. (Fathul Bari, 10/480-481)
Apabila ada seorang yang berkata, “Bagaimana bisa perkataan kafir itu dikembalikan kepadanya dalam keadaan ia mengkafirkan seseorang karena kecemburuannya terhadap agama Allah?” Jawabannya: Dia kafir karena dia menjadikan dirinya sebagai penetap syariat bersama Allah. Dia mengkafirkan orang itu sementara Allah tidak mengkafirkannya, dengan (perbuatan itu) dia mengangkat dirinya sebagai tandingan bagi Allah dalam pengkafiran saudaranya. Di sisi lain, Allah akan menutup hatinya hingga akhirnya ia akan kafir kepada Allah dengan kekafiran yang nyata dan jelas." (Fitnatut Takfir, hal. 43-44)


Konsekuensi Bagi Orang yang Dihukumi Kafir

Mudahnya vonis pengkafiran itu dijatuhkan kepada seseorang adalah permasalahan yang sangat berbahaya. Maka kita perlu melihat kerusakan yang terjadi yang membuka sekian banyak pintu kejelekan terhadap umat ini, yang melazimkan orang yang dituduh kafir sebagai berikut:
1. Tidak halal bagi istrinya (pasangan orang yang dituduh kafir tersebut) untuk tetap dalam ikatan pernikahan bersama suaminya. Sehingga wajib untuk memisahkan keduanya, karena seorang muslimah tidak boleh diperistri oleh orang kafir dengan ijma' yang tidak diragukan lagi.
2. Tidak halal bagi anak-anaknya untuk tetap di bawah penguasaannya karena keberadaan mereka tidak aman berada di sisinya dan dikhawatirkan mereka akan terpengaruh dengan kekufurannya.
3. Orang ini kehilangan hak untuk medapatkan loyalitas (al-wala) dan pertolongan dari masyarakat Islam setelah ia memisahkan diri dari Islam dan keluar dengan kekufuran serta kemurtadan yang jelas. Diputuskan hubungan dengannya dan ia diboikot sampai ia kembali kepada Islam.
4. Orang ini wajib diperhadapkan kepada hakim agama untuk dihukumi murtad setelah ia diminta untuk bertaubat dan setelah hilang syubhat padanya serta telah ditegakkan hujjah padanya.
5. Bila orang ini meninggal dunia tidak diberlakukan padanya hukum Islam, maka ia tidak dimandikan, tidak dishalati, tidak dikuburkan di kuburan kaum muslimin dan tidak diwarisi hartanya sebagaimana ia tidak berhak mewarisi harta keluarganya.
6. Bila ia mati dalam keadaan kafir ia pantas mendapatkan laknat Allah, dijauhkan dari rahmat-Nya dan kekal abadi di dalam neraka.
7. Ia tidak didoakan dengan rahmat, dan tidak dimintakan ampun karena Allah ta`ala berfirman kepada Nabi-Nya:
(ARAB)
"Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampun terhadap orang-orang musyrik walaupun orang musyrik yang meninggal itu adalah karib kerabatnya setelah jelas bagi kaum muslimin bahwa kerabatnya yang kafir itu adalah penghuni neraka jahim.” (At-Taubah: 113)
(Secara ringkas dari Qadhiyatut Takfir Baina Ahlis Sunnah wa Firaqidh Dhalal, hal. 19-20)


Penghukuman dengan Pengkafiran

Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam hal ini adalah madzhab yang pertengahan, tidak berlebih-lebihan dan tidak bermudah-mudahan terhadap penghukuman ahlul iman sebagaimana Khawarij dan yang sejalan dengannya yang berlebih-lebihan dalam mengkafirkan, atau sebagaimana Murjiah yang bermudah-mudahan menetapkan keimanan yang sempurna pada ahlul iman walaupun berbuat maksiat. Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah ini dapat kita lihat dalam ucapan Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullah berikut ini:
“Kita tidak mengkafirkan ahlul kiblat karena satu dosa yang diperbuatnya selama ia tidak menghalalkan perbuatan tersebut, dan kita tidak mengatakan perbuatan dosa itu tidak bermudharat terhadap keimanan. Kita berharap orang-orang yang berbuat baik dari kalangan mukminin agar Allah memaafkan mereka dan memasukkan mereka ke dalam jannah (surga) dengan rahmat-Nya, dan kita tidak merasa aman terhadap mereka dari makar Allah dan kita tidak mempersaksikan surga bagi mereka. Kita mintakan ampun terhadap kesalahan mereka dan kita takut mereka akan mendapat hukuman karena dosa mereka, namun kita tidak putus asa dari rahmat Allah terhadap mereka. Merasa aman dari makar Allah dan putus asa dari rahmat-Nya, keduanya akan memindahkan dari agama Islam sedangkan jalan yang haq berada di antara keduanya bagi ahlul kiblat.” (Al-'Aqidah Ath-Thahawiyyah Syarhun wa Ta'liq Al-Imam Al-Albani, hal. 60-62)
Berkata Ibnu Qudamah Al-Maqdisi: “Kita tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul kiblat karena suatu dosa dan kita tidak mengeluarkan dari Islam seorang pun dari mereka karena melakukan amalan tersebut (amalan dosa).” (Lum'atul I'tiqad ma'a Syarhin, hal. 47)
Namun yang perlu kita ketahui, agama ini punya patokan-patokan (dhawabith) yang dengan patokan tersebut agama ini menghukumi seseorang itu kafir atau tidak. Bukan berarti agama ini tidak mengkafirkan orang-orang yang memang berhak untuk dikafirkan. Tentunya pengkafiran ini kembali kepda patokan tersebut, dan patokan yang kita maksud adalah apa yang dikatakan oleh ahlul ilmi berupa adanya syarat-syarat (syuruth) pengkafiran (pada orang yang dikafirkan) dan hilangnya pencegah-pencegah dikeluarkannya seseorang dari keislaman (mawani').
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Pengkafiran itu memiliki syarat-syarat dan mawani' yang terkadang mawani' itu hilang pada diri seseorang.” (Majmu' Fatawa, 12/487)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah berkata: “Hukum mengkafirkan butuh dua perkara penting:
Pertama, adanya dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena di dalam nash terkadang disebutkan secara mutlak bahwa perbuatan itu kufur namun kufurnya tidak mengeluarkan dari Islam, sehingga harus diketahui dengan pasti bahwa nash itu menunjukkan amalan tersebut kufur, atau bila meninggalkan suatu amalan akan membuat pelakunya kufur keluar dari Islam.
Kedua, dalil tersebut pantas diterapkan kepada orang yang melakukan perbuatan kufur tersebut, karena tidaklah semua pelaku amalan kekufuran langsung divonis kafir sebagaimana ditunjukkan hal ini dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah." (Fitnatut Takfir, hal. 41)
Di antara salah satu permisalannya, ada orang yang dipaksa untuk sujud kepada patung, sehingga karena paksaan dan di bawah tekanan ia pun sujud. Perbuatannya merupakan perbuatan kufur namun karena orang ini melakukannya dengan terpaksa, maka ia tidak bisa dikafirkan. Bukankah Allah ta`ala berfirman:

"Siapa yang kafir kepada Allah setelah keimanannya, kecuali orang yang dipaksa untuk berbuat/berucap kekufuran sementara hatinya tenang dalam keimanan , akan tetapi siapa yang melapangkan dadanya melakukan kekafiran maka mereka mendapatkan kemurkaan Allah dan untuk mereka azab yang besar." (An-Nahl: 106)

Mawani' -sebagaimana dijelaskan dengan nash oleh ahlul ilmi– jumlahnya banyak, sehingga perlu kita camkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak mengkafirkan seorang muslim karena berbuat dosa besar yang diperbuatnya -selain syirik- seperti membunuh, minum khamr, berzina, mencuri, makan harta anak yatim, menuduh wanita yang baik-baik berzina, makan riba dan semisalnya. Akan tetapi waliyyul amr (penguasa) menegakkan hukuman terhadap pelaku dosa besar tersebut berupa hukum qishash, had atau ta'zir dan wajib pelaku dosa besar itu untuk bertaubat dan beristighfar. (Fatawa Lajnah Daimah no. 5003)


Penyebab Kekufuran

Al-Imam Syaikhul Islam Asy-Syaikh Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah berkata: “Aqidah Islamiyyah ini dapat dicacati oleh beberapa perkara. Dan perkara-perkara yang mencacati ini terbagi dua.
Pertama, jenis yang membatalkan aqidah Islamiyyah sehingga pelakunya kafir, na'udzubillah min dzalik.
Kedua, jenis yang mengurangi dan melemahkan aqidah Islamiyyah.
Jenis pertama dinamakan pembatal-pembatal keislaman yang berakibatkan kepada kemurtadan. Pembatal ini bisa berupa ucapan, perbuatan, keyakinan (i'tiqad) dan syak (ragu terhadap agama atau prinsip-prinsip agama).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:
(( مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ ))
“Siapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah dia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya)
Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang murtad diminta agar mau bertaubat. Bila ia enggan maka dibunuh dan disegerakan baginya menuju neraka.

Murtad karena Ucapan (Riddah Qauliyyah)
Ucapan yang dapat memurtadkan pelakunya, di antaranya mencela Allah, mencela Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, menyandarkan keaiban kepada Allah seperti mengatakan Allah itu fakir, atau Allah dzalim, atau menyatakan Allah bakhil, Allah tidak mengetahui sebagian perkara, atau Allah tidak mewajibkan shalat kepada kita. Yang demikian ini pelakunya murtad dan diminta agar bertaubat, bila tidak maka ia dibunuh.

Murtad karena Perbuatan (Riddah Fi'liyyah)
Adapun kemurtadan dalam masalah ini seperti meninggalkan shalat, maka pelakunya kafir berdasarkan sabada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
((اَلْعَهْدُ الَّذِي بَْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ, فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ))
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah meninggalkan shalat, siapa yang meninggalkannya maka sungguh ia telah kafir.”
Beliau juga menyatakan:
((بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاةِ))
“Antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”
Termasuk pula padanya bila seseorang meremehkan Al-Qur'an atau menajisinya dengan sengaja. Termasuk juga thawaf di kuburan dan mengibadahi pemilik kuburan tersebut. Inilah riddah fi`liyyah. Namun bila yang dimaksudkan melakukan ibadah kepada Allah itu hanya dilakukan di sisi kuburan maka ini adalah bid'ah yang mencacati agama pelakunya dan tidak teranggap sebagai riddah (pelakunya tidak murtad), namun termasuk dalam jenis yang kedua, kufrun duna kufrin (amalan kekafiran yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam). Termasuk pula riddah fi'liyyah adalah menyembelih untuk selain Allah.

Murtad karena Keyakinan (Riddah 'Aqadiyyah)
Siapa yang meyakini dalam hatinya bahwa Allah itu fakir, atau bakhil, atau Allah dzalim maka ia telah kafir sekalipun ia tidak pernah mengucapkannya. Atau ia meyakini dengan hatinya bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam itu pendusta, atau di antara para nabi ada yang pendusta, atau ia meyakini dengan hatinya bahwa tidak apa-apa beribadah kepada selain Allah. Semua keyakinan ini mengeluarkan pelakunya dari Islam karena Allah ta`ala berfirman:
(ARAB)
“Yang demikian itu karena Allah adalah Al-Haq sementara apa yang mereka seru selain Allah itu batil.” (Al-Haj: 62)
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لآ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ
“Sesembahan kalian adalah sesembahan yang satu, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.” (Al-Baqarah: 163)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)

Sehingga siapa saja yang menganggap bahwa boleh beribadah kepada selain Allah dengan pengucapan lisannya, maka ia kafir dengan pengucapan dan keyakinannya bersama-sama. Begitupula jika ia melakukan dengan amalan maka jadilah ia kafir dengan ucapan, amalan dan keyakinan secara bersama-sama.
Termasuk pencacat aqidah secara ucapan, perbuatan dan keyakinan adalah apa yang dilakukan sebagian manusia pada hari ini di sisi kuburan orang-orang shalih dengan berdoa dan istighatsah (minta tolong ketika dalam kesusahan) kepada mereka. Siapa yang melakukan hal ini maka ia diminta bertaubat. Bila ia kembali kepada al-haq, maka ia dibiarkan tetap hidup. Namun bila enggan bertaubat, maka ia dibunuh sebagai orang yang murtad.

Murtad karena Ragu (Riddah bisy Syak)
Contohnya orang yang berkata: "Aku tidak tahu apakah Allah itu sesembahan yang benar atau tidak." Atau ia berkata: "Aku tidak tahu apakah Muhammad itu jujur atau dusta." Orang yang seperti ini kafir. Atau ia menyatakan: "Aku tidak tahu apakah hari kebangkitan itu ada atau tidak." Orang ini kafir dan diminta agar ia bertaubat. Bila enggan maka ia dibunuh.
Adapun bila ia tinggal jauh dari kaum muslimin seperti di hutan belantara yang terpencil (kemudian ia melakukan perkara kekufuran), maka diterangkan kepadanya. Namun bila setelah mendapat penerangan ia tetap terus menerus dalam perbuatan kekufurannya, maka ia dibunuh. Demikian pula orang yang meragukan salah satu dari rukun Islam.
Demikianlah pembatal-pembatal keislaman yang membuat pelakunya murtad dan bila enggan bertaubat maka ia dibunuh.
Jenis kedua, perkara-perkara yang tidak menjadikan pelakunya kafir namun melemahkan keimanannya seperti makan riba, melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan seperti zina, bid'ah dan selainnya. Demikian pula melakukan perayaan maulid nabi yang diada-adakan oleh manusia sejak abad keempat hijriyyah. Hal ini melemahkan aqidah, terkecuali bila dalam perayaan maulid tersebut dilakukan istighatsah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka perbuatan ini bid'ah yang termasuk dalam jenis yang pertama dan mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Termasuk pula dalam jenis yang kedua ini adalah perbuatan thiyarah (menganggap sial dengan burung ataupun tanda-tanda lainnya) sebagaimana diperbuat oleh orang-orang jahiliyyah yang Allah ta`ala telah membantah mereka dalam firman-Nya:

قَالُوْا اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَن مَّعَكَ قَالَ طَائِرُكُمْ عِنْدَ اللهِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تُفْتَنُوْنَ
“Mereka mengatakan: kami ditimpa kesialan karenamu dan karena orang-orang yang menyertaimu. Nabi berkata: Bahkan kesialan kalian itu datangnya dari sisi Allah akan tetapi kalian adalah orang-orang yang terfitnah.” (An-Naml: 47)
Thiyarah adalah syirik duna kufrin (yang tidak mengeluarkan dari agama Islam).
Demikian pula perayaan Isra Mi'raj, padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menyatakan:
((مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ))
“Siapa yang mengada-adakan dalam perkara kami ini apa yang bukan bagian darinya maka perkara yang diada-adakan itu tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
(Kaset Al-Qawadih fil Aqidah, Al-Imam Ibnu Baz, dari kitab Qadhiyatut Takfir, hal. 66-70)



Tinggalkan Segala Kebimbanganmu






Tinggalkan Segala Kebimbanganmu
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari



Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”

Hadits ini merupakan pokok dalam hal meninggalkan syubhat dan memperingatkan dari berbagai jenis keharaman1. Al-Munawi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama dan pokok dari sifat wara`, di mana wara` ini merupakan poros keyakinan dan menenangkan dari gelapnya keraguan dan kecemasan yang mencegah cahaya keyakinan.”

Al-Askari rahimahullah menyatakan: “Seandainya orang-orang yang pandai merenungkan dan memahami hadits ini niscaya mereka akan yakin bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang menjauhi perkara syubhat.” (Faidhul Qadir, 3/529)

Hadits yang mulia ini diriwayatkan oleh cucu kesayangan dan permata hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib c, ketika seseorang yang bernama Abul Haura’ As-Sa`di bertanya kepadanya tentang apa yang dihafalnya dari hadits kakeknya yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam.

Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya, juga At-Tirmidzi, An-Nasa’i dalam Sunan-nya2 mengeluarkan hadits ini dari jalan Syu’bah dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul Haura’ dari Al-Hasan bin Ali c. Dan hadits ini termasuk sekian hadits yang dilazimkan/diharuskan oleh Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah terhadap Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah agar mengeluarkannya dalam shahih keduanya3.

Hadits ini shahih, dishahihkan oleh para imam ahli hadits, termasuk di antaranya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad Mimma Laysa fish-Shahihain (1/222-224). Sementara perkataan Jauzajani bahwasanya Abul Haura’ majhul, tidak diketahui keadaannya atau tidak dikenal sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/278) tidak benar keberadaannya, karena Abul Haura’ yang namanya Rabi`ah ibnu Syaiban As-Sa`di di-tsiqah-kan oleh Al-Imam An-Nasa’i rahimahullah. Berkata Al-`Ijli rahimahullah: “Rabi`ah (Abul Haura’) adalah seorang tabi`i lagi tsiqah.” Berkata Al-Hafizh rahimahullah: “Rabi`ah adalah tsiqah (terpercaya).” (Tahdzibul Kamal, 9/117, Tahdzibut Tahdzib, 3/221, At-Taqrib, hal. 147)

Lafazh: dalam hadits ini dengan mem-fathah huruf yang pertama, bisa pula dengan men-dhammah-nya. Namun yang masyhur dan fasih dengan mem-fathahnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 7/187).

Berkata Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah: “Hadits di atas memiliki kisah.” (Sunan At-Tirmidzi, 4/77). Kisah yang dimaksud oleh Al-Imam At-Tirmidzi di sini dibawakan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (1/201). Al-Hasan bin Ali c menceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah lalu memakannya. Melihat hal tersebut, kakek beliau yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengeluarkan kurma itu dari mulut Al-Hasan dan membuangnya. Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apa masalahnya wahai Rasulullah bila anak kecil ini memakan kurma tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammenjawab:
“Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
“Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan”.

Kandungan Hadits

Hadits ini bila ditinjau secara makna hampir sama dengan makna hadits An-Nu‘man ibnu Basyir:
“Siapa yang berhati-hati/ menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no.52, 2051 dan Muslim no.1599) [Dari kaset Durus Al-Arba‘in An-Nawawiyyah oleh Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang mulia ini memerintahkan kepada kita untuk menjauh dari perkara yang meragukan, baik berupa ucapan maupun amalan, baik dilarang ataupun tidak. Dan kita disuruh mengambil perkara yang meyakinkan.

Dengan demikian, ketika dihadapkan dengan syubhat, sebagai suatu perkara yang meragukan karena tidak diketahui halal dan haramnya/ samar keadaannya, sepantasnya kita berhenti padanya, menjaga diri kita agar tidak terjatuh ke dalamnya dan serta-merta meninggalkannya. Sementara sesuatu yang telah jelas halalnya kita tahu tidak akan membuat keraguan, kebimbangan, kegoncangan dan kegelisahan di hati seorang yang beriman, bahkan jiwa dengan tenang akan menjalaninya. Sebaliknya perkara yang syubhat, apabila perkara tersebut diamalkan atau dijalani akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan di hati seseorang. (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 1/280, Tuhfatul Ahwadzi, 7/187, Sunan An-Nasa’i bi Hasyiyah As-Sindi, 8/328).

Berkata Al-Qadhi rahimahullah: “Dalam kejujuran itu ada keberhasilan (kesuksesan) dan keselamatan sekalipun manusia terkadang memandang di situ ada kebinasaan. Maka bila engkau mendapatkan dirimu dalam keadaan ragu terhadap sesuatu, tinggalkanlah perkara tersebut. Karena jiwa seorang mukmin yang sempurna keimanannya merasa tenang dengan kejujuran yang bisa menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan akan merasa ragu dengan kedustaan. Keraguanmu terhadap sesuatu merupakan perkara yang dikhawatirkan keharamannya maka berhati-hatilah engkau dari perkara tersebut, sedangkan ketenanganmu terhadap sesuatu merupakan tanda benarnya hal tersebut, maka ambillah”. (Faidhul Qadir, 3/528)

Sebagai permisalan, apabila seseorang ragu terhadap suatu masalah, apakah hal itu halal ataukah haram, maka hendaknya ia tinggalkan keraguan itu kepada apa yang diyakini atau kepada apa yang halal yang ia yakini atau apa yang tidak ia ragukan. Yang demikian ini berarti ia telah menjaga agamanya. (Kaset Durus Al-Arba’in, Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh rahimahullah)

Demikian pula dalam perkara ibadah, ia kerjakan yang ia yakini. Apabila muncul keraguan secara tiba-tiba maka keraguan tersebut tidak bisa menghilangkan keyakinan yang telah ada. Sebagai permisalan apabila ia ragu dalam shalatnya, apakah ia telah berhadats atau tidak, atau apakah keluar angin dari duburnya atau tidak, maka ia tetapkan keadaannya sebagaimana yang ia yakini (ia shalat dalam keadaan berwudhu) dan ia membuang keraguan yang muncul belakangan. (Kaset Durus Al-Arba’in oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, kaset Durus Al-Arba’in oleh Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh)

Kaidah yang digunakan di sini menurut ulama ahli ushul: “Sesuatu yang yakin tidak bisa dikalahkan oleh sesuatu yang ragu.”

Ath-Thibi rahimahullah menyatakan: “Namun tentunya yang dapat merasakan dan menimbang hal yang demikian ini hanyalah orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih dari noda-noda dosa dan aib.” (Faidhul Qadir, 3/529)

Bila seorang muslim mewujudkan apa yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas, maka ia akan dapat menjaga kehormatannya dari celaan dan menjaga dirinya agar tidak jatuh ke dalam keharaman. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Siapa yang berhati-hati/menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya.”
Perbuatan yang demikian ini akan mengantarkan kepada sikap wara‘ .

Wara‘
Wara’ adalah suatu sikap meninggalkan perkara yang syubhat (samar atau tidak jelas halal haramnya) karena khawatir terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan. (At-Ta‘rifat, Al-Jurjani, 1/325, Subulus Salam, 2/261).

Berkata Abu Abdirrahman Al-Umari Az-Zahid: “Apabila seorang hamba memiliki sifat wara`, niscaya dia akan meninggalkan perkara yang meragukannya menuju kepada perkara yang tidak meragukannya.” (Jami`ul Ulum, 1/281)

Sementara Hassan bin Abi Sinan rahimahullah mengatakan: “Tidak ada sesuatu yang lebih ringan/mudah daripada sikap wara`. Apabila ada sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah.” (Jami`ul Ulum,1/281).

Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah di dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 88 berkata: “Wara’ itu memiliki empat tingkatan:
1 Berpaling dari setiap perkara yang dinyatakan keharamannya.
2 Wara‘ dari setiap perkara syubhat yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dijauhi, namun disenangi baginya untuk meninggalkannya. Dalam perkara ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.”
3 Wara‘ dari sebagian perkara yang halal karena khawatir jatuh kepada perkara yang haram.
4 Wara‘ dari setiap perkara yang tidak ditegakkan karena Allah dan ini merupakan wara‘nya para shiddiqin (orang-orang yang benar imannya).”

Sikap wara’ secara mendetail hanya dapat direalisasikan oleh orang yang istiqamah jiwanya (dalam mengerjakan kewajiban dan meninggalkan perkara yang dilarang), seimbang amalannya dalam takwa dan wara‘. Adapun orang yang suka berbuat keharaman secara zhahir, kemudian ia ingin bersikap wara’ dalam berbagai syubhat yang rinci dan tersamar, maka hal ini tidak akan mungkin baginya, bahkan sikapnya ini diingkari (sekedar omong kosong). Karena itulah Ibnu ‘Umar c mengingkari orang-orang dari penduduk Iraq yang bertanya kepadanya tentang hukum darah nyamuk. Beliau berkata: “Mereka bertanya kepadaku tentang darah nyamuk sementara mereka telah menumpahkan darah Al-Husain z, padahal aku telah mendengar Rasulullah bersabda:
“Keduanya (Al-Hasan dan Al-Husain) adalah kembangku yang semerbak dari penduduk dunia”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3753) [Jami‘ul Ulum,1/283]

Contoh Sikap Wara‘

Jika membaca perjalanan hidup pendahulu kita yang shalih, kita dapati mereka adalah orang-orang yang menyandang seluruh akhlak Islam yang mulia, baik akhlak yang wajib maupun yang sunnah. Betapa kalam (ucapan) Allah dan Rasul-Nya (Al Qur’an dan As Sunnah) menancap di hati-hati mereka dan mengakar di sanubari mereka. Dan tidak cukup dengan itu, kita dapati juga mereka adalah orang yang bersemangat dalam mengamalkan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu akhlak yang bisa kita lihat dari amalan mereka adalah wara‘ . Kisah wara‘ mereka di antaranya:

1. ‘Aisyah mengabarkan bahwa Abu Bakar z pernah mencicipi makanan yang diberikan oleh budaknya. Maka budak tadi berkata kepadanya: “Apakah engkau tahu dari mana aku dapatkan makanan ini?” Abu Bakar zbertanya: “Dari mana engkau mendapatkannya?” Budaknya menjawab: “Dulu di masa jahiliyah aku pernah meramal untuk seseorang, sebenarnya aku tidak pandai meramal namun aku cuma menipunya. Lalu orang itu menemuiku dan memberiku upah atas ramalanku. Inilah hasilnya, apa yang engkau makan sekarang.” Mendengar hal tersebut Abu Bakarzsegera memasukkan tangannya ke dalam mulutnya untuk memuntahkan makanan yang terlanjur masuk ke dalam kerongkongannya, kemudian ia memuntahkan semua makanan itu. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3842)

2. Nafi‘ berkata: ‘Umar Ibnul Khaththab zmenetapkan subsidi rutin bagi para shahabat dari kalangan Muhajirin yang awal berhijrah sebanyak 4000 sementara putranya ia tetapkan sebesar 3500. Kemudian ada yang berkata kepada ‘Umar: “Bukankah Ibnu ‘Umar termasuk dari kalangan Muhajirin, mengapa engkau mengurangi subsidinya?” Umar menjawab: “Ayahnya-lah yang membawanya berhijrah. Dia tidak sama dengan orang yang berhijrah sendiri (yang tidak dibawa oleh orang tuanya).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3912)

3. Yazid bin Zurayi‘rahimahullah mewarisi harta ayahnya sebesar 500 ribu namun ia tidak mengambilnya. Ayahnya bekerja untuk para sultan, sedangkan Yazid bekerja membuat keranjang dari daun kurma, dan dari penghasilan itulah yang digunakannya untuk makan sehari-hari sampai beliau t meninggal dunia. (Al-Wara‘, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 7)

Banyak lagi bisa kita dapatkan kisah-kisah wara‘ mereka yang bisa dilihat pada perjalanan hidup mereka di kitab-kitab biografi para ulama.

Faedah Hadits

1. Termasuk sikap wara’ bila seseorang berhati-hati dan menjauh dari perkara syubhat.
2. Perkara yang halal akan menenangkan hati dan tidak menggelisahkannya.
3. Sementara perkara yang syubhat membekaskan keraguan di hati dan akan menggelisahkannya, demikian pula perkara dosa.
4. Dengan menjauhi syubhat, seseorang dapat menjaga agamanya dan kehormatannya.
5. Sangat menjaga diri dari perkara syubhat hanya pantas dilakukan oleh orang yang lurus jiwanya dan bertakwa serta memiliki sifat wara‘, adapun orang yang biasa terjun dalam lumpur dosa dan maksiat kemudian dia ingin bersikap wara‘ dalam menghadapi syubhat maka ini diibaratkan wara‘ yang hambar, tanpa makna.
6 Ketika berhadapan dengan sesuatu yang samar, tidak jelas halal atau haramnya maka hal tersebut dapat ditimbang dengan hati. Kemudian apa yang menenangkan hati dan melapangkan dada berarti itu adalah kebaikan dan halal. Bila sebaliknya, tidak menenangkan di hati maka dikhawatirkan hal itu sebagai tanda keharaman dan dosa. Namun perlu diperhatikan di sini agar sebelum hati itu memutuskan sesuatu, hendaknya tidak ada kecondongan sebelumnya kepada perkara tersebut atau tidak ada hawa nafsu yang mempengaruhinya.
7. Hadits ini merupakan satu kaidah agama yang agung, “Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.”
8. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan jawami`ul kalim (perkataan ringkas namun padat cakupan maknanya), sebagaimana dikandung dalam hadits ini.


Wallahu a‘lam bish-shawab. 








Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com


Tata Cara Wudhu



-
Apabila seorang muslim mau berwudhu, maka hendaknya ia berniat di dalam hatinya, kemudian membaca Basmalah
بِسْمِ اللهِ
HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Lihat Irwa’ul Ghalil 1/122
Sebab Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah" [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan dinilai hasan oleh Al Albani di dalam kitab Al Irwa' (81)]

Dan apabila ia lupa, maka tidaklah mengapa.
Adapun bacaan niat ...usholli... dst sama sekali tida ada dalil shahih yg menerangkannya, wallahu a'lam.

-
Kemudian disunnahkan mencuci kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali sebelum memulai wudhu
tatacarawudhu1.gif
-
Kemudian berkumur-kumur (memasukkan air ke mulut lalu memutarnya di dalam dan kemudian membuangnya).
-
Lalu menghirup air dengan hidung (mengisap air dengan hidung) lalu mengeluarkannya.

-
Disunnahkan ketika menghirup air di lakukan dengan kuat, kecuali jika dalam keadaan berpuasa maka ia tidak mengeraskannya, karena dikhawatirkan air masuk ke dalam tenggorokan. Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Keraskanlah di dalam menghirup air dengan hidung, kecuali jika kamu sedang berpuasa". [Riwayat Abu Daud dan dishahihkan oleh Albani dalam shahih Abu Dawud (629)]

-
Lalu mencuci muka. Batas muka adalah dari batas tumbuhnya rambut kepala bagian atas sampai dagu, dan mulai dari batas telinga kanan hingga telinga kiri.
tatacarawudhu3.gif
-
Dan jika rambut yang ada pada muka tipis, maka wajib dicuci hingga pada kulit dasarnya. Tetapi jika tebal maka wajib mencuci bagian atasnya saja, namun disunnahkan mencelah-celahi rambut yang tebal tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam selalu mencelah-celahi jenggotnya di saat berwudhu. [Riwayat Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al Irwa (92)]
tatacarawudhu4.gif
-
Kemudian mencuci kedua tangan sampai siku, karena Allah Tabaroka wata'ala berfirman : "dan kedua tanganmu hingga siku". [Surah Al-Ma'idah : 6]
tatacarawudhu5.gif
-
Kemudian mengusap kepala beserta kedua telinga satu kali, dimulai dari bagian depan kepala lalu diusapkan ke belakang kepala lalu mengembalikannya ke depan kepala.

-
Setelah itu langsung mengusap kedua telinga dengan air yang tersisa pada tangannya.
-
Lalu mencuci kedua kaki sampai kedua mata kaki, karena Allah Tabaroka wata'ala berfirman: "dan kedua kakimu hingga dua mata kaki". [Surah Al-Ma'idah : 6]. Yang dimaksud mata kaki adalah benjolan yang ada di sebelah bawah betis. Kedua mata kaki tersebut wajib dicuci berbarengan dengan kaki.
-
Orang yang tangan atau kakinya terpotong, maka ia mencuci bagian yang tersisa yang wajib dicuci. Dan apabila tangan atau kakinya itu terpotong semua maka cukup mencuci bagian ujungnya saja.

-
Setelah selesai berwudhu mengucapkan :
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.
[Diriwayatkan oleh Muslim. Sedangkan redaksi "Allahummaj`alni minat- tawwabina... adalah di dalam riwayat At Turmudzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa (96)]

"Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang yang bertaubat dan jadikanlah aku sebagai bagian dari orang-orang yang bersuci".

-
Ketika berwudhu wajib mencuci anggota-anggota wudhunya secara berurutan, tidak menunda pencucian salah satunya hingga yang sebelumnya kering.

-
Boleh mengelap anggota-anggota wudhu seusai berwudhu

Hal Yang Haram Dilakukan Oleh Yang Tidak Berwudhu




Apabila seorang muslim berhadats kecil (tidak berwudhu), maka haram melakukan hal-hal berikut ini:

-
Mengerjakan shalat. Orang yang berhadats tidak boleh melakukan shalat kecuali setelah berwudhu terlebih dahulu, karena Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:"Allah tidak menerima shalat yang dilakukan tanpa wudhu". [Riwayat Muslim]

Boleh bagi orang yang tidak berwudhu melakukan sujud tilawah atau sujud syukur, karena keduanya bukan merupakan shalat, sekalipun lebih afdhalnya adalah berwudhu sebelum melakukan sujud.

-
Melakukan thawaf. Orang yang berhadats kecil tidak boleh melakukan thawaf di Ka`bah sebelum berwudhu, karena Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah bersabda : "Thawaf di Baitullah itu adalah shalat". [Riwayat Turmudzi dan dinilai shahih oleh Al Albani dalam Al Irwa' (121)]

Dan juga karena Nabi berwudhu terlebih dahulu sebelaum melakukan thawaf. [Muttafaq 'alaih]

Hal Yang Membatalkan Wudhu




Wudhu seorang muslim batal karena hal-hal berikut ini:
-
Keluarnya sesuatu dari qubul atau dubur, baik berupa air kecil ataupun air besar.

-
Keluar angin dari dubur (kentut).

-
Hilang akalnya, baik karena gila, pingsan, mabuk atau karena tidur yang nyenyak hingga tidak menyadari apa yang keluar darinya. Adapun tidur ringan yang tidak menghilangkan perasaan, maka tidak membatalkan wudhu.

-
Menyentuh kemaluan dengan tangan dengan syahwat, apakah yang disentuh tersebut kemaluannya sendiri atau milik orang lain, karena Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu". [Riwayat Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani]

-
Memakan daging unta, Karena ketika Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam ditanya: "Apakah kami harus berwudhu karena makan daging unta? Nabi menjawab : Ya." [Riwayat Muslim]

Begitu pula memakan usus, hati, babat atau sumsumnya adalah membatalkan wudhu, karena hal tersebut sama dengan dagingnya.

Adapun air susu unta tidak membatalkan wudhu, karena Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam pernah menyuruh suatu kaum minum air susu unta dan tidak menyuruh mereka berwudlu sesudahnya. [Muttafaq 'alaih]

Untuk lebih berhati-hati, maka sebaiknya berwudhu sesudah minum atau makan kuah daging unta. 

sunah sunah wudhu

-
Disunnahkan bagi setiap muslim menggosok gigi (bersiwak) sebelum memulai wudhunya, karena Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda : "Sekiranya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintah mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap kali akan berwudhu." [Riwayat Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa' (70)]

-
Disunnahkan pula mencuci kedua telapak tangan tiga kali sebelum berwudhu, sebagaimana disebutkan di atas, kecuali jika setelah bangun tidur, maka hukumnya wajib mencucinya tiga kali sebelum berwudhu. Sebab, boleh jadi kedua tangannya telah menyentuh kotoran di waktu tidurnya sedangkan ia tidak merasakannya. Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Apabila seorang di antara kamu bangun tidur, maka hendaknya tidak mencelupkan kedua tangannya di dalam bejana air sebelum mencucinya terlebih dahulu tiga kali, karena sesungguhnya ia tidak mengetahui di mana tangannya berada (ketika ia tidur)." [Riwayat Muslim]

-
Disunnahkan menghirup air ketika menghirup dengan hidung, sebagaimana dijelaskan di atas.

-
Disunnahkan bagi orang muslim mencelah-celahi jenggot jika tebal ketika membasuh muka.

-
Disunnahkan bagi orang muslim mencelah-celahi jari-jari tangan dan kaki di saat mencucinya, karena Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Celah-celahilah jari- jemari kamu". [Riwayat Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud (629)]

-
Mencuci anggota wudhu yang kanan terlebih dahulu sebelum mencuci anggota wudhu yang kiri. Mencuci tangan kanan terlebih dahulu kemudian tangan kiri, dan begitu pula mencuci kaki kanan sebelum mencuci kaki kiri.

-
Mencuci anggota-anggota wudhu dua atau tiga kali dan tidak boleh lebih dari itu. Namun kepala cukup diusap tidak lebih dari satu kali usapan saja.

-
Tidak berlebih-lebihan dalam pemakaian air, karena Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berwudhu dengan mencuci tiga kali, lalu bersabda : "Barangsiapa mencuci lebih (dari tiga kali) maka ia telah berbuat kesalahan dan kezhaliman". [Riwayat Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa' (117)]

JUAL BELI DENGAN UANG MUKA



Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta




Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Apakah boleh bagi penjual untuk mengambil uang muka dari pembeli. Dan ketika pembeli tidak jadi membeli barang yang dimaksud atau tidak kembali lagi, apakah menurut syarri’at penjual ini berhak menahan uang muka itu dan tidak mengembalikannya kepada pembeli ?

Jawaban.
Jika kenyataan seperti yang anda sebutkan, maka dibolehkan baginya menahan uang muka itu untuk dirinya sendiri dan tidak perlu mengembalikannya kepada pembeli. Demikian pendapat ulama yang paling benar, jika kedua pihak saling bersepakat untuk itu

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Perlu saya beritahukan kepada anda bahwa saya bekerja free lance, seperti misalnya pemborong bangunan dan bengkel besi. Semua kerja tersebut tidak lepas dari uang muka, sedikit maupun banyak. Ketika menyerahkan uang muka dan pengesahan taransaksi pada satu, dua hari atau lebih, orang yang sudah membayar uang itu menyimpang dari pendapatnya semua yaitu pada saat pekerjaan berlangsung dan sebelum memulai pekerjaan. Lalu bagaimana pendapat anda mengenai masalah ini ?

Jawaban
Orang yang mensyaratkan uang muka boleh menahan uang muka itu untuk dirinya sendiri dan tidak harus mengembalikannya kepada pembeli jika transaksi jual beli dibatalkan. Demikian menurut pendapat ulama yang paling benar, jika kedua belah pihak bersepakat untuk itu.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.


[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke 7 dari Fatwa Nomor 9388 dan Pertanyaan ke 1 dari Fatwa Nomor 17341, Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]

JUAL BELI DENGAN SISITEM LELANG



Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta




Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Yang berlaku sekarang di banyak show room mobil adalah membawa mobil ke lokasi lelang. Lelang tersebut berlangsung dengan menggunakan mikrofon tanpa menyebutkan cacat yang terdapat pada mobil-mobil itu. Di sana orang-orang hanya dapat melihatnya dalam keadaan tidak berjalan atau tidak dicoba dijalankan oleh calon pembeli.

Jika transaksi jadi dilakukan, maka show room akan memperoleh uang muka saat itu juga. Kemudian pihak show room mendiktekan kepada pembeli beberapa syarat secara gamblang bahwa mobil itu seluruhnya cacat. Selanjutnya salah seorang pegawai show room menaiki mobil untuk mengantarkan mobil itu ke show room, dimana registrasi diselesaikan, sementara pembeli tidak bisa melakukan pemeriksaan atas mobil, bahkan pembeli itu dilarang mengendarai sehingga pengurusan pemindahan kepemilikan selesai. Dengan demikin, mobil harus dibeli oleh pembeli meskipun terdapat cacat padanya. Oleh karena itu, tolong berikan fatwa kepada kami mengenai kebenaran jaul beli ini. Dan mudah-mudahan anda mendapatkan pahala. Dan jika prkatek jual beli tersebut bertentangan dengan ketetapan syari’at, kami sangat mengaharapkan anda berkenan menulis surat kepada pihak-pihak yang berwenang menangani masalah tersebut untuk memberikan ketetapan syari’at mengenai hal itu.

Jawaban
Seorang penjual berkewajiban untuk menjelaskan cacat yang terdapat pada barang dagangannya. Hal itu didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Penjual dan pembeli mempunyai hak pilih selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan memberikan penjelasan, maka akan diberikan berkah kepada keduanya dalam jual beli mereka. Dan jika keduanya saling berdusta dan menyembunyikan, maka akan dihapuskan berkah jual beli mereka”.[1]

Sedangkan ucapan pemilik show room, “semua mobil cacat”, tidak cukup memadai sehingga dia menjelaskan cacat yang sebenarnya pada barang yang dijual agar pembeli benar-benar mengerti. Wallahu a’lam

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.


Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada orang yang mendatangi lelang suatu barang dan selanjutnya dia menyebutkan beberapa cacat barang di hadapan para pembeli, dengan keinginan agar harganya tidak naik sehingga dia yang akan membelinya sendiri. Bagaimana hukum perbuatan tersebut ?

Jawaban
Menyebutkan cacat barang dari salah seorang pembeli dengan tujuan agar harganya tidak naik, sehingga dia membelinya sendiri dengan harga yang lebih rendah merupakan perbuatan yang haram menurut syari’at. Sebab, di dalamnya terkandung unsur mencelakakan saudara muslimnya, baik cacat itu memang benar adanya pada barang tersebut atau tidak. Dan hendaklah penjual sendiri yang menjelaskan cacat-cacat yang terdapat pada barang itu yang tidak diketahui oleh calon pembeli, sebagai upaya melepaskan diri dari tanggung jawab sekaligus menghindari kecurangan.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.


[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa Nomor 17398 dan Pertanyaan ke 5 dari Fatwa Nomor 19637. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari nomor 2079 dan 2082, Muslim V/416 nomor 3836 –Syarah An-Nawawi-pent

MENJUAL BARANG YANG BELUM DIMILIKI




Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta


Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Kami adalah beberapa orang yang bertanggung jawab atas sebuah koperasi milik kerabat kami. Dan kami membeli beberapa mobil baru dengan surat-surat pabean, dan ada pula dengan STNK. Kami mejualnya dengan sistem angsuran. Perlu diketahui bahwa kami tidak memindahkannya dengan menggunakan nama-nama kami dan tidak mengeluarkannya dari tempat penjual, tetapi kami menjualnya di tempat pembeliannya. Kami mengharap kepada Allah kemudan kepada Anda suatu jawaban. Apakah hal itu termasuk riba atau tidak? Jika memang riba, lalu bagaimana kami harus menyelamatkan diri darinya? Perlu diketahui bahwa kami tidak pernah menerima keuntungan. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada anda.

Jawaban
Tidak diperbolehkan menjual berbagai macam mobil, baik secara tunai maupun kredit, secara berangsur maupun tidak, kecuali pemilik barang itu telah menguasainya dan menerimanya secara penuh, yakni pembeli pertama telah menerimanya, menguasainya dan memindahkannya kepada miliknya. Dan sekedar memperoleh surat-surat pabean tidak dianggap sebagai jual beli sebelum adanya penguasaan dan pemilikan barang itu secara sempurna. Berdasarkan hal tersebut, menjual mobil dengan surat-surat pabean sebelum adanya penerimaan barang dan penguasaannya secara penuh, maka dianggap sebagai jual beli yang tidak sah dan diharamkan untuk melakukannya, serta harus dibatalkan. Sedang pembayarannya dikembalikan kepada yang berhak. Dan tidak dihalalkan untuk mendapatkan hasil penjualannya kecuali dengan mengadakan akad baru setelah mobil itu menjadi milik pembeli secara penuh dan berada dalam kekuasaannya.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Apakah (termasuk yang) disyaratkan dalam penguasaan barang dagangan, memasukkannya dalam gudang, atau cukup dengan sampainya dagangan tersebut di depan kantor lembaga?

Jawaban
Penguasaan barang yang benar terhadap suatu barang diwujudkan dengan memindahkan barang dagangan dari tempat penjual ke tempat pembeli. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang barang dagangan dijual dari tempat dibeli, sampai pedagang menerimanya dan membawanya ke tempat mereka.

Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dan (jika) pihak pembeli memindahkan barang tersebut ke tempat yang tidak menjadi kekuasaan penjual, itu sudah cukup berdasarkan perkataan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma.

“Artinya : Kami membeli makanan dari Ar-Rukhbaan (para pedagang) secara acak, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami membelinya sampai kami membawanya dari tempat tersebut” [1]

Dan dalam riwayat lain.

“Artinya : Kami di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan, lalu beliau mengutus seseorang kepada kami, yang menyuruh kami memindahkan makanan tersebut dari tempat kami membelinya, ke tempat lain sebelum kami menjualnya kembali”

Dan dalam riwayat lain juga Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata.

“Artinya : Bahwa para sahabat membeli makanan dari para saudagar di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lau beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada mereka yang melarang mereka untuk menjualnya di tempat mereka membelinya, sehingga mereka memindahkan makanan tersebut ke tempat lain agar bisa mejualnya kembali”.

Dan dalam riwayat lain lagi Ibnu Umar Rahiyalahu ‘anhuma berkata.

“Artinya : Aku melihat para sahabat di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mereka membeli makanan secara acak, mereka melarang menjualnya di tempat tersebut sampai mereka memindahkannya”.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada seorang konsumen mendatangi saya dan meminta supaya saya membeli barang yang cukup banyak, sedang saya tidak memiliki uang yang cukup untuk memenuhi permintaannya tersebut. Kemudian saya memintanya supaya memberi setengah harga barang tersebut sehingga saya akan menyediakan barang itu untuknya. Apakah hal itu termasuk ke dalam jual beli dengan penipuan? Dan apakah boleh mengajukan permintaan uang muka sebagai jaminan bahwa dia akan benar-benar membeli barang sehingga saya tida rugi? Dan bagaimanakah uang muka yang boleh itu?

Jawaban
Jika anda menjadi wakil darinya dalam pembelian barang yang dikehendaki oleh konsumen, maka tidak ada larangan untuk mengambil harga barang atau sebagiannya dari orang yang mewakilkan kepada anda untuk membeli barang tersebut, lalu anda membeli barang untuknya sesuai kriteria yang disebutkan kepada anda. Hal itu tidak disebut sebagai jual beli, karena anda tidak memiliki barang pada saat dia mewakilkan anda, dan tidak disebut sebagai salam. Sebab, salam adalah menjual sesuatu yang tidak dilihat dzatnya, hanya ditentukan dengan sifat, ditentukan tenggang waktunya, dengan syarat adanya penguasaan penuh terhadap harga total (barang) di tempat pelaksanaan akad.

Tetapi jika akad antara anda dengannya itu berdasarkan pada penjualan anda kepadanya atas barang-barang tersebut, kemudian anda membeli untuknya, maka yang demikian itu tidak diperbolehkan. Sebab, tidak diperbolehkan mejual sesuatu yang tidak anda miliki. Sehingga tidak diperbolehkan juga pengadaan akad jual beli antara diri anda dengannya, atau anda mengambil sebagian dari harga atau uang muka kecuali setelah anda membeli barang dan menguasainya serta memindahkannya menjadi milik anda.

Jual beli dengan uang muka itu boleh-boleh saja dan dibenarkan bagi orang yang menjual barang miliknya sendiri, jika ada kesepakatan antara penjual dan pembeli, yaitu pembeli membayar kepada penjual atau wakilnya sejumlah uang yang lebih sedikit dari harga barang setelah akad jual beli selesai, untuk menjadi jaminan bagi barang tersebut, agar tidak diambil oleh orang lain. Dengan ketentuan, jika pembeli mengambil barang tersebut, maka akan dimasukkan ke dalam hitungan harga dan jika dia tidak mengambil barang tersebut, maka penjual boleh mengambil dan memilikinya.

Dalil yang menunjukkan dibolehkannya uang muka ini adalah apa yang pernah dikerjakan Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. Mengenai jual beli dengan uang muka ini. Imam Ahmad mengatakan, “Tidak ada masalah dengan jual beli ini”. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun membolehkannya. Adapun hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafazh : “ Beliau melarang jual beli dengan uang muka”, adalah hadits dha’if, yang dinilai dha’if oleh Imam Ahmad dan selainnya, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Saya pernah didatangi oleh seorang konsumen dan meminta barang tertentu, ternyata barang tersebut tidak ada pada saya, tetapi ada di toko lain, dan harga di toko lain misalnya 100 riyal. Lalu setelah mengajukan permintaan itu, si pembeli berkata kepada saya : “Berapa harganya?” “ 150 riyal” jawab saya. Kemudian pembeli itu berkata, “Tidak ada masalah. Tolong bawakan barang itu kepada saya”. Dan ternyata saya bisa mendapatkan barang itu dengan harga 100 riyal, lalu saya jual kepadanya dengan harga 150 riyal, apakah praktek jual beli seperti ini boleh? Atau saya meminta kepadanya agar memberi harga barang sebesar 150 riyal, lalu saya membeli barang tersebut dengan harga 100 riyal. Dan saya mengambil keuntungan 50 riyal sebagai ongkos lelah dan kerja keras, apakah yang demikian itu dibolehkan ? Jika tidak diperbolehkan, lalu apa yang harus kami lakukan, dan apakah jual beli ini dianggap sebagai jual beli barang yang tidak dimiliki?

Jawaban
Jual beli yang disebutkan sifatnya di atas termasuk jual beli barang yang tidak anda miliki, apa yang tidak ada pada anda maka tidak diperbolehkan bagi anda untuk memperjual belikan barang itu sehingga anda benar-benar menguasai dan memindahkannya menjadi milik anda. Dan jika anda telah memiliki barang tersebut, maka anda dibolehkan untuk menjualnya kepada pembeli dengan harga yang kalian sepakati dan atas persetujuan kalian berdua. Dengan keuntungan yang bermanfaat bagi anda dan tidak memberi mudharat bagi pembeli. Tetapi, jika anda ditugasi untuk membeli barang tertentu maka anda tidak boleh mengambil tambahan yang lebih banyak dari harganya, karena wakil itu merupakan orang yang diberi amanah. Tetapi jika pembeli memberi anda bagian dari harga sebagai tanda terima kasih atas kerja yang anda lakukan, maka boleh anda mengambilnya.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa Nomor 20104. Pertanyaan ke-2 dari Fatwa Nomor 19722. dan Pertanyaan ke1 dan ke-2 dari Fatwa Nomor 19912. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
__________
Foote Note
[1]. HR Ibnu Hibban XI/357 nomor 4982, dan ini lafazhnya. Muslim III/1161, Ibnu Majah nomor 2229, Al-Bukhari nomor 2167, Abu Dawud nomor 3494

Syarat Dalam Jual Beli



SYARAT DALAM JUAL BELI


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta



Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Saya seorang pengusaha yang bergerak antara lain di bidang jual beli mobil. Di dalam akad itu, saya sebutkan sebagai berikut : "Saya menjual mobil ini kepada si fulan dengan harga 200 ribu riyal. Pada saat akad berlangsung, dia harus menyerahkan sekian riyal, sedangkan sisanya dibayarkan dengan angsuran bulanan, setiap bulan sekian riyal" Saya memberikan syarat kepada pembeli agar dia bekerja pada saya dan saya menyediakan baginya pekerjaan, dimana saya menjalin hubungan pekerjaan dengan beberapa instansi pemerintah. Saya syaratkan supaya dia bekerja pada saya sampai pembayaran angsuran mobil selesai, atau jika harga mobil itu dibayar lunas, dan selama kesepakatan saya dengan instansi pemerintah itu tetap berjalan. Tetapi saya merasa ragu dalam menjalankan cara ini, karena dalam jual beli itu saya mensyaratkan padanya untuk bekerja di tempat saya. Tolong beritahu saya mengenai masalah ini, mudah-mudahan Allah memberikan balasan-Nya. Dan jika cara ini tidak benar, lalu bagaimana saya harus berbuat terhadap akad-akad terdahulu dan juga para pelakunya?

Jawaban
Pemberian syarat yang anda lakukan pada akad jual beli merupakan akad kedua, yaitu membayar orang (pembeli) untuk bekerja padanya. Dan itu jelas membatalkan akad secara prinsip dan tidak sah. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidizi yang dia juga menilai hadist ini shahih. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda.

لا يحل سلف و بيع ولا ش طان فى بيع ولا بيع ما ليس عندك

"Tidak diperbolehkan pinjaman dan jual beli, tidak juga dua syarat dalam satu jual beli, dan tidak boleh menjual barang yang tidak ada padamu" [1]

Dan anda harus menghindari hal seperti ini pada masa-masa yang akan datang. Sedangkan apa yang telah berlalu maka kita hanya bisa berharap mudah-mudahan Allah memberikan ampunan atas ketidaktahuan anda. Hal itu didasarkan pada firman Allah Jalla wa Alaa.

"Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) ; dan urusannya (terserah) kepada Allah" [Al-Baqarah : 275]

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Fatwa nomor 6880]


Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Dalam suatu jual beli, pemilik barang berkata, "Barang ini bisa kamu beli dengan harga 10 riyal jika diangsur, dan 5 riyal jika tunai". Lalu si pembeli mengambil barang itu dan pergi, sedang penjual tidak tahu apakah pembeli tadi akan membayar tunai atau kredit. Saya mohon kesediaan anda untuk menjawabnya.

Jawaban.
Jika kenyataannya seperti yang anda sebutkan tadi, maka tidak diperbolehkan jual beli seperti itu, karena ia termasuk dua jual beli dalam satu jual beli. Dan tidak ditegaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dua jual beli dalam satu jual beli, karena pada perbuatan itu terkandung ketidaktahuan atau ketidakjelasan yang dapat mengakibatkan pada perselisihan dan pertengkaran.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Pertanyaan ke-2 dari fatwa nomor 8779]


Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada seorang pedagang yang membeli sebuah rumah dari seseorang. Pedagang ini mensyaratkan kepada pembeli agar dia (penjual) menyewa sebagian dari rumah tersebut dengan harga tertentu, kemudian si penjual mensyaratkan agar pembeli tidak menjual rumah ini kecuali kepada pemilik pertama. Apakah praktek jual beli seperti ini diperbolehkan?

Jawaban.
Praktek jual beli seperti ini tidak diperbolehkan. Sebab, praktek itu masuk dalam kategori dua jual beli dalam satu jual beli yang telah dilarang dalam hadits.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Pertanyaan ke-2 dari Fatwa nomor 19420]

[Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_______
Footnote
[1]. HR At-Tirmidzi no. 1234, An-Nasa'i no. 4611 dan 4630, Abu Dawud no. 3504, 2188. Telah dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwaa-ul Ghalil no. 13006 (pent)