Kenikmatan Yang Terabaikan
Oleh Al-Ustadzuna Muhammad Umar As-Sewed
Sejarah bergantinya zaman dari zaman jahiliah ke zaman Islam adalah sejarah bergantinya masa perpecahan dan permusuhan kepada masa persatuan dan persaudaraan. Era jahiliah adalah masa perpecahan dan pertikaian. Masyarakat jahiliah adalah masyarakat liar yang tidak terpimpin. Tanpa aturan, tanpa kepemimpinan. Siapa yang kuat dia yang menang.
Mereka terkotak-kotak dalam berbagai suku dan kabilah, yang masing-masing merasa lebih kuat dan lebih hebat dari yang lainnya. Mereka dikuasai oleh sifat ashabiyah (fanatisme) golongan. Mereka akan membela golongannya masing-masing, benar ataupun salah. Oleh karena itu, pertikaian tidak dapat dihindarkan. Peperangan terus berlangsung hingga berpuluh-puluh tahun, bahkan beratus-ratus tahun lebih. Seperti perang Da’is wal Ghabra yang disebabkan hanya karena masalah sepele, pertikaian dalam pacuan kuda. Namun akibat pertikaian tersebut menimbulkan peperangan yang berlangsung 40 tahun lebih. Mereka turun-temurun mewariskan dendam dan hutang darah, sehingga anak cucu mereka lahir dan dibesarkan dalam keadaan memusuhi serta membenci musuh nenek moyangnya, padahal mereka tidak tahu-menahu apa sebabnya.
Demikian pula peperangan dan pertikaian yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj yang berlangsung lama. Sehingga manusia ketika itu mengatakan mustahil mereka akan berdamai selama-lamanya. Namun anggapan mereka keliru. Bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, hal itu semuanya mudah dan Allah Maha Kuasa untuk berbuat apapun sekehendak-Nya. Ternyata setelah Allah mengutus Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menurunkan Kitab-Nya dan mereka masuk Islam, hati-hati mereka luluh dan dapat bersatu padu dalam agama Islam ini. Maka, datanglah zaman yang berbeda. Zaman persaudaraan, keteraturan, ketentraman, dan perdamaian.
Dengan demikian, di samping mereka mendapatkan kenikmatan Islam yaitu kenikmatan berupa selamatnya mereka dari adzab Allah, mereka juga mendapatkan kenikmatan di dunia ini berupa kenikmatan ukhuwah dan persaudaraan. Allah Subhanahu wa Ta’ala ingatkan dua kenikmatan besar ini dalam ayat-Nya:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati-hati kalian. Lalu karena nikmat Allah jadilah kalian sebagai orang-orang yang bersaudara. Dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
Kenikmatan besar ini tidak bisa dibeli dengan harta dunia. Tidak bisa pula diupayakan dengan cara apapun, kecuali dengan cara yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kenikmatan ini berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak mungkin kita mengupayakannya kecuali dengan mencari jalan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي اْلأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman).
Walaupun kalian membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kalian tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Anfal: 63)
Oleh karena itu, ketika kaum muslimin meninggalkan agamanya dan keluar dari jalannya, berkuranglah kenikmatan ukhuwah tersebut berbanding lurus dengan jauhnya mereka dari jalan Islam. Semakin jauh mereka meninggalkan agama Allah, semakin besar pula perpecahan yang terjadi di tengah mereka. Untuk itu, upaya mengajak kaum muslimin untuk kembali kepada tauhid dan ajaran Sunnah Nabinya Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah upaya untuk merajut kembali persatuan umat Islam. Tidak ada jalan lain untuk merajut kembali kenikmatan ukhuwah kecuali dengan menebarkan dakwah ini, tanpa ta’ashshub (fanatik) terhadap siapapun. Tanpa ada tarikan hawa nafsu, maupun kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan.
Upaya-upaya menyatukan umat Islam dengan mematikan amar ma’ruf nahi mungkar, tidak boleh saling salah-menyalahkan, adalah upaya mengekalkan dan membiarkan perpecahan. Begitu juga upaya yayasan-yayasan pemberi dana bantuan untuk menjinakkan hati-hati manusia dan menyatukannya dalam satu barisan, dalam keadaan akidah mereka berbeda-beda, adalah kebodohan dan melupakan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan pada ayat di atas:
لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي اْلأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ
“Walaupun kalian membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kalian tidak dapat mempersatukan hati mereka.”
Apalagi upaya untuk meleburkan semua pemahaman atau sinkretisme agama. Semua upaya itu sama ujungnya, mematikan amar ma’ruf nahi mungkar dan membiarkan perpecahan.
Oleh karena itu, para ulama mengatakan:
الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (Al-An’am: 153)
Kita lanjutkan sejarah persatuan dan perpecahan. Zaman Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat merupakan zaman persatuan, zaman ukhuwah, zaman rahmat, dan terus berlangsung seperti itu. Hingga muncul kelompok-kelompok sempalan, kaum Syi’ah Rafidhah dan kaum Khawarij. Kaum Syi’ah Rafidhah keluar dari ajaran Nabinya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ajaran ghuluw, menuhankan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan mengkafirkan sahabat-sahabat yang lain. Sedangkan Khawarij adalah kaum reaksioner, pemberontak, yang mengkafir-kafirkan kaum muslimin dengan sebab dosa-dosa besar. Robeklah tirai persatuan dan ukhuwah yang telah dirajut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terjadilah pertumpahan darah dan peperangan sesama kaum muslimin. Kenikmatan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan berangsur-angsur sirna.
Demikianlah sunnatullah. Jika suatu kenikmatan tidak disyukuri maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencabutnya kembali.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb kalian memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Ibrahim: 7)
Karena sebagian besar atau kebanyakan kita melupakan kenikmatan yang besar ini dan mengabaikan penyebab datangnya kenikmatan ini, maka jangan salahkan siapapun ketika terjadi perpecahan dan pertikaian kembali di antara kita. Jangan salahkan kecuali diri kita sendiri. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengubah satu kenikmatan yang telah diberikan pada suatu kaum kecuali ketika mereka sendiri yang menyebabkan tercabutnya kenikmatan itu.
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 53)
Tidak ada cara lain kecuali merajut kembali ukhuwah Islam dengan benang-benang tauhid dan sunnah. Tata kembali bangunan ukhuwah yang telah rusak dengan pondasi iman dan ketakwaan. Ajaklah seluruh kaum muslimin untuk bersatu di dalamnya. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan kembali kenikmatan yang pernah diberikan kepada salafus shalih.Wallohu A’lam Bishowab.