KAIDAH HALAL DAN HARAM DALAM JUAL BELI
Oleh
Ustadz
Mu'tashim
Hukum halal dan haram dalam Islam telah diatur dengan
sangat jelas. Hal ini merupakan salah satu karunia Allah dan bukti nyata atas
kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah n . Bila tidak, mungkin akan banyak
dijumpai hal-hal yang saling bertolak belakang dalam masalah hukum dan
kaidahnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Sebenarnya, mereka
telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, maka
mereka berada dalam kadaan kacau-balau" [Qaaf : 5]
Di antara makna
kesempurnaan syari’at Islam, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
dianugerahi kemampuan mengungkapkan dengan bahasa verbal, sederhana tetapi padat
dan jelas isi kandungannya.
Sebagai contoh mengenai kaidah umum dalam
masalah perintah dan larangan; bahwa tidaklah suatu perintah atau larangan,
melainkan di dalamnya mengandung kemaslahatan dan manfaat, baik ditinjau dari
sisi agama maupun kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"(Ia) yang menyuruh mereka mengerjakan
yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan
bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk" [al
A’raf : 157]
Pada pembahasan masalah mu’amalah dan jual beli, hukum
asalnya adalah boleh dan halal. Tidak ada larangan dan tidak berstatus haram,
sampai didapatkan dalil dari syariat yang menetapkannya.
Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman :
"Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
riba". [al Baqarah : 275].
Sepanjang ridha, kejujuran, keadilan melekat
dalam suatu proses mu'amalah dan jual beli, tanpa ada unsur kebatilan dan
kezhaliman, bentuk transaksi itu diperbolehkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ
مِنْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu". [an Nisa : 29].
Syariat Islam
dengan hikmah dan rahmatnya, mengharamkan apa yang membahayakan terhadap agama
dan dunia. Kaidah penting yang kami angkat pada pembahasan kali ini berhubungan
dengan riba, penipuan, dan perjudian, disertai dengan penjelasan kaidah-kaidah
penting lainnya.
KAIDAH PERTAMA : Tentang Riba
Al Qur`an, hadits dan
ijma ulama Islam telah menetapkan haramnya riba. Ketetapan ini bersesuaian
dengan asas keadilan dan qiyas (analogi) yang shahih. Yang dimaksud dengan riba
adalah, setiap tambahan yang ada dalam barang-barang tertentu [1]. Riba terbagi
menjadi dua, bisa juga menjadi tiga. Yaitu: riba fadhl, riba nasiah dan riba al
qordh.
Riba fadhl (tambahan), yaitu jual beli uang dengan uang, makanan
dengan makanan, dengan ada penambahan di salah satu dari kedua barang tersebut
[2].
Misalnya jual beli dua barang yang ditakar (ditimbang) dengan
berbagai tingkatan kualitasnya, antara satu dengan yang lain tidak sama takaran
atau timbangannya. Padahal dalam jual beli ini harus memenuhi dua syarat, yaitu
sama persis ukuran (timbangnya) dan diserahkan dalam satu waktu atau tempat
transaksi (spontan). Konkretnya, jual beli 1 kg kurma harus ditukar dengan 1 kg
kurma, karena jenisnya sama maka harus serupa pula timbangannya. Dan tidak boleh
1 kg kurma ditukar dengan 2 kg kurma walaupun berbeda kualitasnya. Selama berada
dalam satu jenis, maka harus sama takaran (timbangannya).
Riba nasi-ah,
definisinya, mengakhirkan penyerahan barang (setelah transaksi) dalam setiap
jenis barang yang serupa illahnya (pangkal alasan dari suatu hukum), sebagaimana
illah yang terdapat dalam riba fadhl.[3]
Riba ini sangat menyusahkan
orang dan diharamkan. Riba ini merupakan jual beli antara dua macam barang yang
ditakar atau ditimbang, yang satu diberikan sekarang dan yang lainnya diberikan
pada lain waktu sesuai kesepakatan. Baik antara jenis yang sama seperti gandum
dengan gandum, atupun berbeda jenisnya semisal gandum dengan kurma, atau kurma
dengan kismis.
Setiap yang berlaku dalam riba fadhl dalam jenis
barangnya, berlaku juga untuk riba nasi-ah, akan tetapi, terkadang yang tidak
diperbolehkan dalam riba nasi-ah diperbolehkan dalam riba fadhl (dengan berbeda
selisih takaran/timbangan) bila berlainan jenis. Missal, jual beli kurma 2 kg
dengan kismis/anggur kering 1 kg ( berbeda jenisnya) dibolehkan apabila
diberikan di tempat transaksi, langsung antara penjual dan pembeli sebelum
berpisah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبا أَضْعَافاً
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda" [al
Baqarah:130]
Dahulu, orang-orang Jahiliyah bila telah jatuh tempo
pembayaran hutang, orang yang menghutangkan berkata kepada orang yang berhutang:
"bayar sekarang atau engkau membayarnya nanti tetapi harus dengan tambahan dari
jumlah nominal hutang”. Baik dengan bahasa terang-terangan ataupun dengan
ungkapan kiasan (halus yang tendensius), hukumnya haram.
Riba al qord,
gambarannya adalah seseorang yang menghutangkan uang kepada orang lain dengan
mensyaratkan tambahan manfaat (jasa). Sebagai contoh, Fulan A menghutangkan
kepada Fulan B dengan syarat B sudi meminjamkan rumah atau kendaraan, atau
setiap pekan (bulan) beras 1 kg kepada A.
Hal ini termasuk riba, dan
bukan sekedar hutang. Karena tujuan menghutangkan ialah untuk berbuat baik dan
menebar kasih-sayang kepada sesama. Perbuatan ini berlawanan dengan tujuannya.
Bahkan hakikatnya, praktek ini merupakan jual beli uang dengan uang, dengan
tenggang tempo, riba yang ada diambilkan dari manfaat yang telah menjadi
kesepakatan bersyarat.
Ketiga macam riba di atas diharamkan oleh Allah
dan RasulNya, karena hal itu merupakan kezhaliman dan bertentangan dengan
keadilan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ
رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ.
"Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya". [al Baqarah : 279]
Bila ada yang
mengatakan "bagaimana hal ini bisa dikatakan sebagai kezhaliman, padahal orang
ini sudah rela dengan kesepakatan yang terjadi untuk membayar dengan sejumlah
kelebihan tertentu?"
Maka jawabnya bisa ditinjau dari dua sisi.
Pertama, harus dipahami hakikat kezhaliman yang ada adalah mengambil harta
dengan tanpa hak (alasan yang diperbolehkan syariat). Seseorang yang tidak bisa
membayar karena kesusahan, seharusnya ditunda pembayarannya. Mengambil tambahan
dari jumlah yang semestinya ia ambil (nominal hutang, Red) adalah kezhaliman.
Selain itu, keridhaan yang ada dalam diri seseorang harus bersesuaian syariat.
Bila syariat melarang walaupun ia ridha, maka kerelaannya tidak memiliki arti.
Kedua, pada hakikatnya ia tidak ridha atau terpaksa untuk menerimanya.
Karena ia khawatir bila tidak diberikan pinjaman. Orang yang berakal tidak akan
ridha dengan kewajiban membayar uang yang berlipat ganda yang tidak pernah ia
manfaatkan.
Juga dapat dikatakan, ia telah berbuat zhalim kepada dirinya
sendiri, karena hakikatnya ia telah melemparkan dirinya kepada kebinasaan dan
azab akhirat, karena dengan sengaja telah melakukan apa yang diharamkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Gambaran kezhaliman ini sangat jelas dalam
praktek riba nasi-ah. Sedangkan riba fadhl diharamkan sebagai upaya menutup
akses menuju riba nasi-ah.
Jenis Barang Yang Masuk Dalam Kategori
Riba
Tidak setiap barang pada transaksi yang berbeda jumlahnya dikatakan
riba. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutkan enam macam yang
dikatakan riba, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung
dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sejenis dengan
sejenisnya, saling sama jumlahnya, tangan dengan tangan (langsung diserahkan
saat transaksi terjadi). Bila berbeda jenis-jenis ini, maka jual sekehendak
kalian, tetapi harus diserahkan saat transaksi.[4]
Keenam macam barang
ini telah disepakati masuk dalam kategori riba. Kemudian para ulama berbeda
pendapat, apakah barang selainnya dapat diqiaskan kepada keenam macam tersebut
apa tidak?
Jumhur ulama berpendapat, bahwa selainnya dapat diqiaskan
kepada keenam macam tersebut, bila sesuai dengan illah (alasan) yang ada. Di
antara mereka ada yang berpendapat bahwa illah emas dan perak dalam hadits
adalah tsamaniyyah (alat tukar) sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih al
Fauzan dan as Sa’di.
Sedangkan Syaikh al ‘Utsaimin memiliki pandangan,
bahwa pendapat yang paling dekat (kebenaran)nya bahwa illah yang terkandung
dalam emas dan perak karena dzat emas dan peraknya, baik yang berupa mata uang
atau bukan.[5]
Adapun illah yang terdapat dalam gandum, tepung, kurma dan
garam adalah sebagai barang yang ditakar dan makanan
(dikonsumsi).[6]
Jadi dapat disimpulkan, segala jenis barang yang
illahnya sama dengan keenam macam tersebut, bisa dimasukkan ke dalam masalah
riba.
Contoh dalam riba fadhl. Bila barang yang sama jenis dan macamnya,
semisal beras ditukar dengan beras, maka dalam jual belinya harus memenuhi dua
syarat, yaitu sama ukurannya dan diberikan di tempat akad serta dalam satu
waktu, tidak boleh barang yang satu diberikan sekarang sedangkan barang lainnya
diserahkan keesokan harinya. Jadi 1 kg beras tidak boleh ditukar dengan 2 kg
beras. Walaupun berbeda kualitasnya.
Bila ada yang mengatakan, mengapa
hal ini dilarang, padahal perbedaan kualitas mempengaruhi harga? Maka jawabnya,
itulah Islam yang hukumnya penuh dengan segala kesigapan untuk menutup segala
celah penipuan dan perbuatan aniaya lain yang lebih besar. Hal seperti ini
pernah terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yakni, ada
seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang
menjual kurma jenis jelek dengan jumlah yang lebih banyak dengan kurma
berkualitas baik dengan takaran yang lebih sedikit. Kemudian Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengembalikannya, seraya
berkata: “Ini adalah riba,” kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkannya untuk menjual terlebih dahulu kurma yang jelek dengan dirham
(uang), kemudian baru dibelikan (dengan dirham tersebut) kurma yang
baik.[7]
Oleh karena itu, bila diketahui jenis dan macamnya sama, maka
sebaiknya salah satunya diuangkan terlebih dahulu, baru kemudian ditukarkan
dengan yang lebih rendah atau tinggi kualitas ataupun banyaknya, untuk lebih
menghindari hal-hal yang mengandung unsur riba’.
Bila berbeda jenis
barang, tapi masih termasuk barang yang berkategori riba, maka boleh berbeda
ukurannya, dengan syarat harus diserahterimakan dalam satu tempat dan tempo
ketika transaksi.
Tatkala berbeda jenisnya, baik kedua-duanya tidak masuk
kategori riba atau hanya salah satunya saja, maka boleh berbeda takarannya serta
dapat dijual diluar waktu dan tempat transaksi tersebut.
Dr. Abdullah
‘Aziz Badawi berkata,"Apabila enam jenis (termasuk barang yang diqiaskan
kepadanya, pent) dijual dengan barang yang berbeda jenis dan illahnya, misalnya
emas dengan gandum, perak dengan garam, maka dibolehkan terjadinya selisih
jumlah (tafadhul) dan dapat diakhirkan penyerahannya (nasi-ah).[8]
Dapat
kita simpulkan, bahwa dalam masalah jual beli dapat di bagi menjadi empat
macam.
1. Bila jual beli dalam satu jenis barang (jenis, macam dan
illahnya sama) yang berkategori riba, maka diharamkan tafadhul (tambahan atau
selisih jumlah barang) dan nasi-ah (menunda penyerahan barang). Misalnya, kurma
dengan kurma, maka harus sama jumlahnya dan tidak boleh nasi-ah.
2. Bila
dalam dua jenis yang serupa illah riba fadhlnya (misal, kurma dan gandum
illahnya sama, yaitu timbangan atau takaran dan makanan), maka diharamkan
nasi-ah dan dibolehkan terjadinya tafadhul. Misal, kurma 2 kg dengan gandum 1
kg, emas 10 gr dengan perak 30 gr. Hal ini boleh tafadhul, tapi dilarang
nasi-ah.
3. Bila di antara dua jenis berbeda yang masih dalam kategori
riba yang tidak serupa illahnya (jenisnya berbeda tapi masih dalam jenis barang
yang masuk dalam kategori riba), maka boleh tafadhul dan nasi-ah. Misal, kurma
dengan emas. Illah kurma takaran dan makanan, illah emas karena emas barang yang
sangat bernilai.
4. Bila di antara barang yang tidak dalam kategori riba
(baik salah satunya atau keduanya), maka boleh nasi-ah dan tafadhul. Semisal,
emas dengan pakaian, atau pakain dengan buku.
KAIDAH KEDUA : Haramnya
Mu’amalah Yang Mengarah Kepada Tipu Daya dan Bahaya
Al Qur`an, as Sunnah dan
kaum Muslimin sepakat tentang haramnya judi. Judi atau taruhan ada dua macam.
Yaitu taruhan yang berbentuk saling menjatuhkan atau dengan jaminan
tertentu. Semuanya diharamkan oleh syari’at. Kecuali bila digunakan sebagai
wasilah (media) dalam hal ketaatan dan untuk berjihad di jalan Allah. Contohnya,
taruhan dalam lomba berkuda, menyetir dan memanah.
Macam kedua, bentuk
taruhan dalam bermu’amalah sebagaimana yang telah Nabi larang terhadap segala
jenis jual beli yang mengandung penipuan. Karena bahaya dan kerugian yang dapat
dialami oleh kedua belah pihak. Para ahli fiqih memberikan syarat dalam
transaksi agar harga dan barang harus jelas untuk menghindari tipu muslihat yang
mungkin terjadi.
Misal dari praktek ini antara lain: jual beli janin
yang masih di dalam perut induknya, jual beli dengan cara mulamasah (siapa yang
telah meraba atau memegang barang, maka langsung dianggap telah membeli),
munabadzah (dengan melempar atau saling melempar antara keduanya dengan lemparan
batu, maka yang terkena itulah yang harus dibeli atau dijual), dan
sebagainya.
Di antara praktek jual beli yang unsur penipuannya relatif
kecil atau samar, para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya.
Walaupun mereka sepakat dengan kaidah ini. Perbedaan yang terjadi dikarenakan
berbedanya sisi pandang dalam menyikapi permasalahan yang muncul. Apakah ia
masuk dalam kaidah ini, ataukah tidak? Yang benar adalah, dikembalikan kepada
kebiasaan masyarakat, apakah itu merupakan penipuan ataukah bukan? Contohnya,
perkataan “aku menjual barang ini seharga para pedagang yang lain”, atau dalam
jual beli kacang yang masih dalam tanah, dan sebagainya.
Karena itu,
disyaratkan juga dalam masalah jual beli, mampu untuk menghadirkan barang kepada
pembeli. Ini semua untuk menghindari tipu daya yang mungkin dilakukan.
Contoh lain dalam kaidah ini, jual beli antara dua barang yang satu
dalam bentuk takaran yang jelas, yang lainnya menggunakan perkiraan. Karena bisa
jadi, apa yang dikira-kira lebih sedikit dari hak yang seharusnya diterima, atau
bisa jadi lebih banyak dari yang semestinya.
Hikmah yang terkandung dari
haramnya taruhan atau undian ini, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ
يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu dan berjudi itu, dan menghalangi kamu
dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu)".[al Maidah : 90-91]
KAIDAH KETIGA : Jual Beli Berupa
Penipuan
Transaksi model ini diharamkan di dalam Kitabullah, Hadits dan Ijma
ulama. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa yang
berbuat tipu muslihat, maka ia bukan dari golongan kami.”
Tipu muslihat
yang dimaksud, yaitu mencakup segala jenis mu’amalah, baik dalam perdagangan,
musyarokah (syarikat) dan sebagainya. Baik dengan cara penyamaran atau dengan
menyembunyikan kondisi barang yang sebenarnya, ia poles luarnya sehingga menjadi
kelihatan baik dan bagus, padahal di dalamnya atau barang lainnya penuh dengan
cacat.
KAIDAH KEEMPAT : Ridha Syar’i Dari Kedua Belah Pihak
Kaidah ini
berlandaskan al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ ulama. Kaidah ini berlaku dalam segala
jenis, baik dalam akad transaksi jual beli, sewa-menyewa, musyarokah, hadiah,
wakaf, dan sebagainya.
Ridha seseorang dapat diketahui melalui
perkataannya, atau segala sesuatu yang mengisyaratkan sikap ridhanya, baik lisan
ataupun tindakan.
Kata ridha diiringi dengan sifat syar’i. Tujuannya,
dimaksudkan untuk meniadakan ridha anak kecil, orang dungu, orang gila dan
orang-orang yang tidak dibebani dengan kewajiban hukum. Karena ridha mereka
tidak berarti, dan setiap transaksi mereka diwakilkan oleh walinya.
Penting untuk diketahui, bahwa ridha yang dianggap benar dan sah dari
kedua belah pihak yang bertransaksi, harus bersesuaian dengan syari’at. Bila
syari’at melarang transaksi tersebut, maka tetap haram walaupun manusia
meridhainya.
KAIDAH KELIMA : Akad Harus Berasal Dari Pemilik Barang,
Pemiliki Hak atau Wakilnya
Kaidah ini berdasarkan dalil al Qur`an, Sunnah dan
Ijma’ serta Qias yang shahih untuk berlaku adil. Pemilik barang atau jasa dan
wakilnya, merekalah yang berhak untuk menentukan segalanya, baik untuk
meneruskan transaksi atau membatalkannya.
Atas dasar itu, seseorang yang
ingin menjual barang, meminjamkan, menghadiahkan, mewasiatkan, mewakafkan, atau
menggadaikannya dan sebagainya, tetapi dia bukan sebagai pemiliknya, maka
mu’amalah tersebut tidak sah, sampai mendapatkan ia izin dari pemiliknya.
Masih berkaitan dengan kaidah ini, seseorang tidak berwenang dengan
barang yang belum sempurna akad transaksinya, sampai ia telah resmi menjadi
pemilik barang tersebut, baik dengan meletakkan barang di rumahnya atau dalam
genggaman tangannya, dan tanda kepemilikan lainnya.
Contoh lain dari
kaidah ini, pemilik barang yang masih tersangkut dengan hak orang lain.
Misalnya, barang yang digunakan untuk jaminan atau barang yang merupakan milik
patungan dengan orang lain, maka pemilik barang tidak boleh secara mutlak untuk
bertransaksi, kecuali setelah mendapat izin dari syarikatnya atau yang memiliki
kepentingan dengan barang tersebut.
KAIDAH KEENAM DAN KETUJUH : Akad
Yang Mengandung Unsur Meninggalkan Perkara Wajib Atau Perbuatan Haram, Maka
Transaksinya Menjadi Haram
Dan Tidak Sah.
Hal ini telah disebutkan di
beberapa tempat. Semisal yang telah disebutkan dalam surat al Jumu’ah tentang
haram dan tidak sahnya akad jual beli yang dilakukan setelah adzan Jum’at bagi
laki-laki yang telah diwajibkan shalat Jum’at. Setiap amalan yang menyibukkan
dia sehingga meninggalkan kewajiban, maka amalan tersebut haram. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ
أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah
harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa
yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi" [al Munafiqun :
9].
Demikian juga, jual beli yang digunakan untuk yang haram, seperti
anggur yang digunakan untuk minuman keras, senjata yang digunakan untuk merampok
atau membunuh, maka diharamkan dan tidak sah.
Wallahu a’lam bish
shawab.
Maraji` :
- Fiqh wa Fatawa al Buyu`, karya as Sa’di, Fatawa
wa Qawaid Tatallaqu bi Ahkami al Buyu`, hlm. 241-263. Cet. Adhwa-u as Salaf.
- Asy Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Syaikh al ‘Utsaimin, Jilid 8,
Cet. Muassasah Salam.
- Al Mulakhas al Fiqhi, Shalih al Fauzan, Jilid 2,
Cet. Daar Ibn al Jauzi.
- Al Wajiz, ‘Abdul ‘Azhim Badawy, Cet. Ibn
Rajab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1424H/2004M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Al Mulakhkhash al Fiqhi (2/28).
[2]. Al Wajiz, hlm. 347
[3]. Asy Syarhu al Mumti’ (8/328).
[4].
Mukhtashar Shahih Muslim, 949.
[5]. Asy Syarhu al Mumti’ (8/390).
[6]. Al
Mulakhkhas al Fiqhi (2/29).
[7]. Muttafaqun ‘alaih.
[8]. Al Wajiz, 349.
[9]. Asy Syarhu al Mumti’ (8/327-328).