HUKUM JUAL BELI DENGAN UANG MUKA
Oleh
Ustadz Abu Ashma Kholid
Syamhudi
Salah satu sistem jual-beli yang kini berkembang, yaitu
pemberlakuan uang panjar sebagai tanda pengikat kesepakatan. Istilah ini dikenal
dengan DP (Down of Payment), atau uang muka. Biasa pula disebut dengan istilah
"tanda jadi". Bagaimanakah tinjauan syari'at terhadap sistem panjar ini?
Selanjutnya disebut dengan uang muka.
PENGERTIAN UANG MUKA
Panjar (DP)
dalam bahasa Arab adalah al 'urbuun (العربون). Kata ini memiliki padanan kata
(sinonim) al urbaan (الأربان), al 'urbaan (العربان) dan al urbuun [1] (الأربون).
Secara bahasa artinya, kata jadi transaksi dalam jual beli.[2]
Gambaran
bentuk jual beli ini yaitu, sejumlah uang yang dibayarkan di muka oleh seorang
pembeli barang kepada si penjual. Bila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang
muka itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka uang yang
dibayarkan di muka menjadi milik si penjual.
Atau seorang pembeli
menyerahkan sejumlah uang dan mengatakan : “ Apabila saya ambil barang tersebut,
maka (uang muka/ down payment) ini sebagai bagian dari nilai harga. Dan bila
saya membatalkannya (tidak jadi membelinya) maka uang ini menjadi milik anda
(penjual)” [3]
Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang dan
menyatakan: Apabila saya ambil barang tersebut maka ini adalah bagian dari nilai
harga dan bila tidak jadi saya ambil maka uang (DP) tersebut untukmu. Atau
seorang membeli barang dan menyerahkan kepada penjualnya satu dirham atau lebih
dengan ketentuan apabila sipembeli mengambil barang tersebut, maka uang panjar
tersebut dihitung pembayaran dan bila gagal maka itu milik
penjual.[4]
Secara ringkas, sistem jual beli seperti ini dikenal dalam
masyarakat kita dengan pembayaran DP atau uang jadi. (istilah jawa panjer)
Wallahu A'lam.
HUKUM JUAL BELI DENGAN UANG MUKA
Dalam permasalahan
ini, terdapat perbedaan dikalangan para ulama, yang terbagi dalam
pendapat:
[1]. Yang berpendapat jual-beli dengan uang muka (panjar) ini
tidak sah. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama di kalangan Hanafiyyah,
Malikiyyah dan Syafi'iyyah.
Al Khathabi mengatakan : Para ulama
berselisih pendapat tentang bolehnya jual beli ini, Malik, Syafi'I menyatakan
ketidaksahannya, karena adanya hadits[5] dan karena terdapat syarat fasad
(rusak) dan Al-gharar (spekulasi)[6], Juga, jual-beli seperti ini termasuk dalam
kategori memakan harta orang lain dengan cara bathil. Demikian juga Ash-habul
Ra'yu (madzhab Abu Hanifah, -pen) menilainya tidak sah” [7]
Ibnu Qudamah
mengatakan, demikianlah pendapat Imam Maalik, As-Syafi'i dan Ash-hab Ra'yu dan
juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Al Hasan Al Bashri [8]
Yang menjadi
argumentasi pendapat ini, di antaranya sebagaimana berikut ini.
[a].
Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ
الْعُرْبَانِ قَالَ مَالِكٌ وَذَلِكَ فِيمَا نَرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنْ
يَشْتَرِيَ الرَّجُلُ الْعَبْدَ أَوْ يَتَكَارَى الدَّابَّةَ ثُمَّ يَقُولُ
أُعْطِيكَ دِينَارًا عَلَى أَنِّي إِنْ تَرَكْتُ السِّلْعَةَ أَوْ الْكِرَاءَ فَمَا
أَعْطَيْتُكَ لَكَ
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang jual beli dengan sistem uang muka. Imam Maalik berkata : “Dan inilah
adalah yang kita lihat –wallahu A'lam- seorang membeli budak atau menyewa hewan
kendaraan kemudian berkata, ‘Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan
apabila saya membatalkan (tidak jadi) membeli atau tidak jadi menyewanya, maka
uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu” [9]
[b]. Jenis jual
beli dengan uang muka, termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan
cara batil, karena disyaratkan oleh si penjual tanpa ada kompensasinya [10].
Adapun memakan harta orang lain, hukumnya haram sebagaimana firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu’ [An Nisaa' : 29]
[c].
Dalam jual beli dengan sistem uang muka tersebut, terdapat dua syarat batil:
syarat yang menunjukkan kebatilannya. Pertama, syarat memberikan uang panjar.
Kedua, syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak
tidak ridha. [11]
Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak
diketahui (khiyaar al-majhul). Kalau disyaratkan harus ada pengembalian barang
tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga apabila dikatakan:
Saya mempunyai hak memilih. (Terserah) kapan saya ingin mengembalikan dengan
tanpa dikembalikan uang pembayarannya” [12]. Menurut Ibnu Qudamah, demikian ini
menunjukkan Qiyas (analogi) [13].
Pendapat ini dirajihkan As-Syaukani
sebagaimana pernyataan beliau : “Yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama,
karena dalam hadits 'Amru bin Syu'aib terdapat beberapa jalan periwayatan yang
saling menguatkan. Juga karena dalam jual-beli seperti ini terdapat larangan,
dan hadits yang mengandung larangan lebih rajih dari yang menunjukkan bolehnya,
sebagaimana telah jelas dalam ushul Fiqh. Yang menjadi illat (sebab hukum)
larangan ini ialah, jual-beli seperti ini mengandung dua syarat yang fasid.
Pertama, syarat menyerahkan kepada penjual harta (uang muka) secara gratis
apabila pembeli batal membelinya. Kedua, syarat mengembalikan barang kepada
penjual apabila si pembeli tidak ada keinginan untuk membelinya.[14]
[2].
Pendapat Yang Menyatakan Jual Beli Dengan Uang Muka Diperbolehkan. Inilah
pendapat madzhab Hambaliyyah. Dan diriwayatkan bolehnya jual beli ini dari Umar,
Ibnu Umar, Sa'id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin.[15]
Al Khathabi
mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau memperbolehkan jual
beli ini dan juga diriwayatkan dari Umar.
Imam Ahmad cenderung mengambil
pendapat yang membolehkannya dan menyatakan. Aku tidak akan mampu menyatakan
sesuatu sedangkan ini pendapat Umar Radhiyallahu ‘anhu yaitu bolehanya jual-beli
dengan uang muka. Ahmad juga melemahkan (mendhoifkan) hadits larangan jual-beli
yang seperti ini, disebabkan terputus. [16]
Argumentasi pendapat yang
membolehkan ini, yaitu sebagaimana berikut ini.
[a]. Atsar yang
berbunyi:
عَنْ نَفِعِ بْنِ الحارث, أَنَّهُ اشْتَرَى لِعُمَرَ دَارَ
السِّجْنِ مِنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ, فَإِنْ رَضِيَ عُمَرُ , وَ إِلاَّ فَلَهُ
كَذَا وَ كَذَا
Dari Nafi bin Al-Harits, sesungguhnya ia pernah membelikan
sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan ketentuan)
Apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak mendapatkan uang sekian dan
sekian.
Al-Atsram berkata: “Saya bertanya kepada Ahmad: "Apakah Anda
berpendapat demikian?" Beliau menjawab: "Apa yang harus kukatakan? Ini Umar
Radhiyallahu ‘anhu (telah berpendapat demikian)” [17]
[b]. Hadits Amru
bin Syuaib adalah lemah, sehingga tidak dapat dijadikan sandaran dalam melarang
jual beli dengan sistem uang muak ini.
[c]. Uang muka adalah kompensasi
yang diberikan kepada penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi
selama beberapa waktu. Dia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan
berjualan. Dengan demikian, maka tidaklah benar pandangan yang mengatakan, bahwa
uang muka telah dijadikan syarat oleh penjual tanpa ada imbalannya.
[d].
Tidak sahnya qiyas (analogi) jual beli ini dengan al-khiyar al majhul (hak pilih
terhadap barang yang tidak diketahui), karena syarat dibolehkannya uang muka ini
adalah dibatasinya waktu menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, batal
analogi tersebut, dan hilangnya sisi yang dilarang dari jual beli
tersebut.
PENDAPAT PARA ULAMA KONTEMPORER
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
rahimahullah pernah ditanya : Bagaimana hukum melaksanakan jual beli sistem
panjar (al-urbun) apabila belum sempurna jual belinya?. Bentuknya yaitu, dua
orang melakukan transaksi jual beli, Apabila jual beli sempurna maka pembeli
melunasi nilai pembayarannya dan bila pembeli batal melakukan pembelian, maka si
penjual mengambil DP (uang muka) tersebut dan tidak mengembalikannya kepada
pembeli?
Pertanyaan ini dijawab oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
rahimahullah sebagai berikut : Tidak mengapa mengambil DP (uang muka) tersebut,
menurut pendapat yang rajih dari dua pendapat ulama. Apabila penjual dan pembeli
telah sepakat untuk itu dan jual belinya tidak dilanjutkan (tidak
disempurnakan)” [18]
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta
(Komite Tetap Untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa) Kerajaan Saudi Arania,
menyebutkan dalam fatwanya sebagai berikut.
[1]. Fatwa no.
9388
Pertanyaan : Bolehkah seorang penjual mengambil uang muka ('Urbuun) dari
pembeli? Dan jika pembeli batal membelinya atau mengembalikan pembeliannya,
apakah secara hukum syari'at si penjual berhak mengambil uang muka tersebut
untuk dirinya tanpa mengembalikannya kepada si pembeli?
Jawaban: Apabila
keadaannya demikian, maka dibolehkan bagi si penjual untuk memiliki uang muka
tersebut untuk dirinya dan tidak mengembalikannya kepada pembeli –menurut
pendapat yang rojih- apabila keduanya telah sepakat untuk itu.[19]
[2].
Fatwa no. 1963:
Pertanyaan : Al 'Urbuun sudah dikenal dengan (penyebutan)
uang muka sedikit, yang diserahkan pada waktu membeli berfungsi sebagai tanda
jadi, sehingga menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa hukum jual
beli tersebut? Banyak dari para penjual yang mengambil harta urbuun (uang mukar)
ketika pelunasan pembayaran gagal, bagaimana hukumnya?
Jawaban: Jual beli
dengan DP ('urbuun) diperbolehkan. Jual-beli ini dengan membawa seorang pembeli
kepada penjual atau agennya (wakilnya) sejumlah uang yang lebih sedikit dari
harga barang tersebut setelah selesai transaksi, sebagai jaminan barang. Ini
dilakukan agar selain pembeli tersebut tidak mengambilnya dengan ketentuan
apabila pembeli tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung dalam
bagian pembayaran dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak mengambil uang
muka tersebut dan memilikinya.
Jual beli dengan uang muka ('urbuun) ini
sah, baik telah menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum
menentukannya. Dan secara syar’i, penjual memiliki hak menagih pembeli untuk
melunasi pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang.
Dibolehkannya jual beli 'urbuun ini ditunjukkan oleh perbuatan Umar bin Al
Khathab. Imam Ahmad menyatakan tentang jual beli seperti ini boleh. dan dari
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma juga membolehkannya. Sa'id bin Al Musayyib dan
Muhammad bin Sirin mengatakan: “Diperbolehkan bila ia tidak ingin, untuk
mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya sejumlah
harta.”.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
“(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang jual beli dengan uang muka), ini merupakan hadits yang lemah
(dhaif), Imam Ahmad dan selainnya telah mendhaifkannya, sehingga (hadits ini)
tidak bisa dijadikan sandaran. [20]
Majlis Fikih Islam, dalam seminar
ke-8 berkesimpulan dibolehkannya jual beli dengan uang muka. Berikut ini
ketetapan-ketetapan yang telah disepakati.
Pertama: Yang dimaksud dengan
jual beli dengan uang muka adalah, menjual barang, lalu si pembeli memberi
sejumlah uang kepada si penjual dengan syarat bila pembeli jadi mengambil barang
tersebut, maka uang muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Namun
kalau si pembeli tidak jadi jadi membelinya, maka sejumlah uang (muka yang
dibayarkan) tersebut menjadi milik penjual. Transaksi ini selain berlaku untuk
jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti membeli
fasilitas.
Di antara jual beli yang tidak diperbolehkan dengan sistem
uang muka adalah jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima
pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad (jual beli as-salm) atau serah
terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money Changer). Dan dalam
transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang mengharuskan
pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase penjualan kedua
yang dijanjikan.
Kedua: Jual beli dengan uang muka dibolehkan bila waktu
menunggunya dibatasi secara pasti, Uang muka tersebut dimasukkan sebagai bagian
pembayaran, bila sudah dibayar lunas. Dan menjadi milik penjual bila si pembeli
tidak jadi melakukan transaksi pembelian.[21]
Namun perlu diingat bila
penjual mengembalikan uang muka tersebut kepada pembeli ketika gagal
menyempurnakan jual belinya, maka itu lebih baik dan lebih besar pahalanya
disisi Allah sebagaimana Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda.
مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ
عَثْرَتَهُ
“Barangsiapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada
seorang muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan dan
dosanya”
Iqalah dalam jual beli dapat digambarkan, seseorang membeli
sesuatu dari seorang penjual, kemudian pembeli ini menyesal membelinya. Karena
menegtahui sangat rugi atau sudah tidak membutuhkan lagi, atau tidak mampu
melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan barangnya kepada penjual dan si
penjual menerimanya kembali (tanpa mengambil sesuatu dari
pembeli).[22]
Demikian permasalahan jual beli dengan pemberian uang muka,
mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 11/Tahun X/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Diambil dari catatan penulis dari
penjelasan Syaikh DR. Abdulqayum As-Sahibaani dalam pelajaran kitab Nailul
Authar di Universitas Islam Madinah, pada tanggal 11-6- 1418 H dan ada juga
dalam Al Mughni Ibnu Qudamah (6/331).
[2]. Lihat Al Qaamus Al-Muhith Karya
Al_Fairuz Abadi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Al Risalah hal
1568
[3]. Catatan penulis dari keterangan Syeikh Abdulqayyum.
As-Sahibaani
[4]. Al Mughni 6/ 331
[5]. Yaitu hadits Amru bin Syu'aib
berikutnya (penulis)
[6]. Tentang al-gharar, lihat penjelasannya pada rubrik
Fiqih dalam majalah As Sunnah Edisi:04/X/1427H/2006M
[7]. Ma'alim Sunan
Syarah Sunan Abu Daud pada footnote sunan Abu Daud 3/768.
[8]. Al Mughni
6/331.
[9]. HR imam Maalik dalam Al-Muwattha 2/609, Ahmad dalam Musnadnya
(no.6436) 2/183, Abu Dawud no. 3502 (3/768) dan Ibnu Majah 3192. lafadznya
lafadz Abu Daud. Namun sanadnya lemah. Hadits ini dinilai dhoif (lemah) oleh
Syeikh Al Albani dalam kitab Dhaif Sunan Abu Daud no. 3502 dan Dhaif Sunan Ibnu
Majah 487/3192, Al Misykah 2864 dan Dhoif Al Jami' Al Shoghir 6060
[10].
Lihat Al Mughni 6/331
[11]. Lihat Shahih Fiqhus Sunnah 4/411
[12].
IIid
[13]. Ibid
[14]. Nailul Authar 6/289.
[15]. Lihat Al Mughni
6/331
[16]. Ma'alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud pada footnote sunan Abu Daud
(3/768)
[17]. Diriwayatkan oleh Al-Atsram dengan sanadnya. Lihat Al-Mughni
(6/331)
[18]. Fiqh wa Fatawa Al-buyu, disusun ASyraf Abdul Maqshud, hal.291,
dinukil dari Shahih Fiqhus Sunnah (4/412)
[19]. Fatawa Lajnah Daimah (13/132)
yang ditanda tangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdur Razaq Afifi dan
Abdullah bin Ghadayan
[20]. Ibid. (13/133-134)
[21]. Ketetapan no. 72,
Lihat majalah Al-Majma edisi 8 dan kitab Ma La Yasa’u Yasa’u At-Tajira Jahluhu,
Prof Dr Abdullah.Al-Mushlih dan Prof. Dr Shalah Ash-Shawi. Telah diindonesiakan
dengan judul Fiqih Ekonomi Keungan Islam, Penerbit Darul Haq, Edisi terjemah,
hal. 134
[22]. Lihat Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud (9/237)