SEKILAS HIBAH, WASIAT DAN WARISAN
Oleh
Abu Abdillah Arief
Budiman
HIBAH
Berkenaan dengan definisi hibah (هِبَةٌ), As
Sayid Sabiq berkata di dalam kitabnya [1] : “(Definisi) hibah menurut istilah
syar’i ialah, sebuah akad yang tujuannya penyerahan seseorang atas hak miliknya
kepada orang lain semasa hidupnya [2] tanpa imbalan apapun [3]”. Beliau berkata
pula: “Dan hibah bisa juga diartikan pemberian atau sumbangan sebagai bentuk
penghormatan untuk orang lain, baik berupa harta atau lainnya”.
Syaikh Al
Fauzan berkata: “Hibah adalah pemberian (sumbangan) dari orang yang mampu
melakukannya pada masa hidupnya untuk orang lain berupa harta yang diketahui
(jelas)”.[4]
Demikian makna hibah secara khusus. Adapun secara umum,
maka hibah mencakup hal-hal berikut ini:
1. Al ibra`: ( الإِبْرَاء) yaitu
hibah (berupa pembebasan) utang untuk orang yang terlilit utang (sehingga dia
terbebas dari utang).
2. Ash shadaqah (الصَّدَقَة) : yaitu pemberian yang
dimaksudkan untuk mendapatkan pahala akhirat.
3. Al hadiyah ( الهَدِيَّة) :
yaitu segala sesuatu yang melazimkan (mengharuskan) si penerimanya untuk
menggantinya (membalasnya dengan yang lebih baik) [5].
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang perbedaan antara shadaqah dan
hadiyah, dan mana yang lebih utama dari keduanya, beliau rahimahullah menjawab:
“Alhamdulillah, ash shadaqah adalah segala sesuatu yang diberikan untuk
mengharap wajah Allah sebagai ibadah yang murni, tanpa ada maksud (dari
pelakunya) untuk (memberi) orang tertentu, dan tanpa meminta imbalan (dari orang
yang diberi tersebut). Akan tetapi, (pemberian tersebut) diberikan kepada
orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan hadiyah, maka pemberian ini dimaksudkan
sebagai wujud penghormatan terhadap individu tertentu, baik hal itu sebagai
(manifestasi dari) rasa cinta, persahabatan ataupun meminta bantuan. Oleh karena
itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima hadiah, dan berterimakasih
atasnya (dengan memberinya hadiah kembali), sehingga tidak ada orang yang
meminta atau mengharapkan kembali darinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
juga tidak pernah memakan kotoran-kotoran [6] (zakat atau shadaqah) orang lain
yang mereka bersuci dengannya dari dosa-dosa mereka, yaitu shadaqah. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memakan shadaqah karena alasan ini ataupun
karena alasan-alasan lainnya [7]. Maka (dengan demikian) telah jelaslah
perkaranya, bahwa shadaqah lebih utama. Kecuali jika hadiyah memiliki makna
tersendiri, sehingga membuatnya lebih utama dari shadaqah, seperti memberi
hadiah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di masa hidupnya sebagai
tanda cinta kepadanya, atau memberi hadiah kepada kerabat, yang dengannya
terjalinlah hubungan lebih erat antara kerabat, atau juga memberi hadiah kepada
saudara seiman, maka hal-hal seperti ini bisa membuat hadiyah lebih utama (dari
shadaqah)”[8].
Ibnu Qudamah Al Maqdisi berkata: “Kesimpulannya, hibah,
shadaqah, hadiyah, dan ‘athiyah memiliki makna yang saling berdekatan. Makna
ketiga istilah ini adalah penyerahan kepemilikan (seseorang kepada orang lain)
pada waktu hidupnya tanpa imbalan balik apapun. Dan penyebutan ‘athiyah
(pemberian) mencakup seluruhnya, demikian pula hibah. Sedangkan shadaqah dan
hadiyah berbeda, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memakan
hadiyah dan tidak pernah memakan shadaqah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata ketika Barirah diberi daging shadaqah:
هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ
وَلَنَا هَدِيَّةٌ.
"Daging itu baginya adalah shadaqah dan bagi kami
hadiyah".[9]
Maka zhahirnya, orang yang memberi sesuatu kepada orang yang
membutuhkan dengan berniat taqarrub kepada Allah adalah shadaqah. Sedangkan
orang yang memberi sesuatu dengan tujuan untuk (melakukan) pendekatan kepadanya,
dan dalam rangka mencintainya, maka itu adalah hadiyah. Dan seluruh
(amalan-amalan) ini hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan (untuk dilakukan),
karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَهَادُوْا
تَحَابُّوْا.
"Saling memberi hadiahlah sesama kalian, niscaya kalian
saling mencintai".[10]
Adapun shadaqah, maka keutamaannya jauh lebih
banyak, di luar batas kemampuan kami untuk menghitungnya. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 271, yang artinya : Jika kamu
menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan
itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian
kesalahan-kesalahanmu”.[11]
WASIAT
Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut
istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang
lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal
dunia.[12]
Dari definisi ini jelaslah perbedaan antara hibah (dan yang
semakna dengannya) dengan wasiat. Orang yang mendapatkan hibah, dia langsung
berhak memiliki pemberian tersebut pada saat itu juga, sedangkan orang yang
mendapatkan wasiat, ia tidak akan bisa memiliki pemberian tersebut sampai si
pemberi wasiat meninggal dunia terlebih dahulu.[13]
WARISAN
Warisan
berbeda dengan hibah ataupun wasiat. Warisan dalam bahasa Arab disebut at
tarikah (التَّرِكَة). Definisinya menurut istilah syariat ialah, seluruh harta
seseorang yang ditinggalkannya disebabkan dia meninggal dunia
[14].
Hak-hak yang berkaitan dengan at tarikah (warisan) ada empat.
Keempat hak ini tidak berada pada kedudukan yang sama, akan tetapi hak yang satu
lebih kuat dari yang lainnya, sehingga harus lebih didahulukan dari hak-hak
lainnya. Urutan empat hak yang berkaitan dengan at tarikah tersebut sebagai
berikut:[15]
1. Hak yang pertama, dimulai dari pengambilan sebagian at
tarikah tersebut untuk biaya-biaya pengurusan jenazah si mayit (mulai dari
dimandikannya mayit sampai dikuburkan).
2. Hak yang ke dua, pelunasan
utang-utang si mayit (jika memiliki utang).
3. Hak yang ke tiga,
melaksanakan wasiatnya dari sepertiga tarikahnya setelah dikurangi biaya
pelunasan utang-utangnya.
4. Hak yang ke empat, pembagian tarikah (harta
warisannya) kepada seluruh ahli warisnya dari sisa pengurangan (dari ke tiga hak
di atas).
Demikian penjelasan singkat tentang hibah, wasiat dan warisan.
Adapun permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat, insya Allah akan
diangkat pada edisi yang akan datang.
Wallahu a’lam, wa akhiru da’waana
anil hamdu lillaahi rabbil ‘aalamin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Fiqh As Sunnah (3/388).
[2].
Karena jika penyerahan kepemilikan itu terjadi setelah dia meninggal, maka hal
itu disebut wasiat.
[3]. Karena jika dengan imbalan, maka hal itu disebut
jual beli.
[4]. Al Mulakhash Al Fiqhi (2/163).
[5]. Fiqh As Sunnah
(3/388).
[6]. Maksudnya adalah kotoran dalam arti maknawi, bukan
hissi.
[7]. Sebagaimana hadits Al Fadhl bin Abbas z dalam Shahih Muslim
(2/754 no.1072) dan lain-lainnya:
إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِيَ
أَوْسَاخُ النَّاسِ, وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ
مُحَمَّدٍ.
Sesungguhnya shadaqah-shadaqah ini adalah kotoran-kotoran manusia,
tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad.
[8]. Majmu’ Al Fatawa
(16/151).
[9]. HR Bukhari (2/543), Muslim (2/755), dan lain-lain.
[10]. HR
Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra (6/169), dan lain-lain. Dan Al Albani
menghasankan hadits ini. Lihat Shahih Al Jami’, no.3004.
[11]. Al Mughni
(8/239-240).
[12]. Lihat Al Mughni (8/389), Fiqh As Sunnah (3/414), Al Fiqh
Al Manhaji (2/243), dan Al Mulakhash Al Fiqhi (2/172).
[13]. Lihat Fiqh As
Sunnah (3/414).
[14]. Lihat Fiqh As Sunnah (3/425).
[15]. Lihat Fiqh As
Sunnah (3/425-426).
[16]. Ibnu Hazm dan Asy Syafi’i mendahulukan pelunasan
utang-utang kepada Allah, seperti zakat dan kaffarat-kaffarat di atas
utang-utang kepada sesama manusia. Sedangkan ulama Hanafiyah mengatakan, bahwa
utang-utang mayit kepada Allah gugur dengan sebab kematiannya, maka tidak wajib
bagi ahli warisnya untuk melunasi utang-utangnya, kecuali jika mereka mau
menyumbangkannya, atau jika si mayit berwasiat agar utang-utangnya tersebut
dilunasi. Jika si mayit berwasiat dengan wasiat tersebut, maka hukum wasiatnya
ini sama dengan wasiat yang ditujukan kepada orang asing (bukan ahli waris).
Dengan demikian si ahli waris atau orang yang diwasiati hanya boleh mengeluarkan
maksimal sepertiga at tarikah setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah dan
setelah pelunasan utang-utang (si mayit) kepada sesama manusia. Hal ini
dilakukan jika si mayit memiliki ahli waris. Jika dia tidak memiliki ahli waris,
maka boleh dikeluarkan dari seluruh tarikahnya itu. Sedangkan ulama Hanabilah,
mereka menyama-ratakan antara utang-utang kepada Allah dan kepada manusia. Lihat
Fiqh As Sunnah (3/425-426).
One Comment
makasih penjelasan tentang hibahnya.