HAK WARIS SEORANG WANITA
Oleh
Ummu Salamah
As-Salafiyyah
Dengan hak inilah yang membuat manusia terbagi
menjadi bersikap berlebihan, lengah, dan pertengahan.
Dalam masalah hak
waris wanita ini, di antara mereka ada yang merujuk kepada keadaan Jahiliyyah
pertama, dimana mereka melarang wanita dari mendapatkan warisan. Tetapi Islam
datang dan mengangkat status wanita serta memberinya hak warisan.
Allah
Ta’ala berfirman:
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu bapak dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian
yang telah ditetapkan." [An-Nisaa': 7]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan, “Sa’id bin Jubair dan Qatadah berkata, ‘Dahulu, orang-orang musyrik
memberikan harta hanya kepada laki-laki dewasa serta tidak memberikan hak waris
kepada kaum wanita atau anak-anak. Maka, Allah menurunkan surat (An-Nisaa’: 7).’
“Artinya seluruhnya sama di dalam hukum Allah, masing-masing sama dalam hukum
asal waris mewarisi sekalipun bertingkat-tingkat sesuai ketentuan yang dibuat
oleh Allah dengan melihat yang lebih dekat kepada mayit dari bentuk kekerabatan,
pernikahan atau loyalitas, karena loyalitas adalah bagian dari famili yang sama
dengan kekerabatan dalam nasab.”
Imam al-Bukhari rahimahullah telah
membuat satu bab tersendiri, yaitu, “Bab Miiraats al-Banaat.” Kemudian dia
menyebutkan hadits berikut ini:
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, “Aku pernah jatuh sakit di Makkah yang kemudian sembuh dan
selamat dari kematian. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang
membesukku, maka aku tanyakan, Wahai Rasulullah, ‘Aku memiliki harta yang banyak
dan tidak ada yang mewarisi hartaku kecuali seorang anak wanita, apakah aku
boleh bersedekah dengan 2/3 dari hartaku?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Kukatakan,
‘Apakah separuh saja?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ ‘Apakah sepertiga?’ tanyaku.
Beliau menjawab. "“Sepertiga itu banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan
anak-anakmu dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada engkau tinggalkan
mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta apa yang ada di tangan orang
lain. Sesungguhnya, tidaklah engkau berikan nafkah kepada keluargamu kecuali
engkau akan diganjar atasnya, bahkan sampai-sampai satu suapan yang engkau
berikan ke mulut isterimu”
Maka aku katakan, “Wahai Rasulullah, apakah
aku akan meninggalkan tanah hijrahku (Madinah)?’ Rasulullah menjawab, ‘Engkau
tidak akan pernah meninggalkan tanah hijrahku sepeninggalanku, maka beramallah
sambil mengharapkan ridha Allah niscaya ketinggian derajat(mu) akan bertambah.
Barangkali engkau akan terus hidup sepeninggalanku hingga orang-orang (kaum
muslimin) mengambil manfaat padamu dan sebagian lainnya (orang-orang kafir)
mendapatkan mudharat. Akan tetapi yang meninggal di Makkah adalah Sa’ad bin
Khaulah”
Rasulullah kasihan padanya, yang meninggal di Makkah (Sa’ad bin
Khaulah). Sufyan berkata, “Sa’ad bin Khaulah adalah seseorang dari Bani ‘Amir
bin Lu’ay.”
Terdapat satu atsar dari al-Aswad bin Yazid, dia berkata,
“Mu’adz bin Jabal pernah mendatangi kami di Yaman sebagai pengajar sekaligus
amir (pemimpin). Lalu kami menanyakan kepadanya tentang seseorang yang meninggal
dunia dan meninggalkan seorang puterinya dan saudara perempuannya. Maka dia
memberi puteri itu setengah dan saudara perempuannya setengah
juga.
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari juga dari Huzail bin Syarahbil,
dia berkata, Abu Musa pernah ditanya tentang seorang anak perempuan, seorang
anak perempuan dari anak laki-laki, dan saudara perempuan. Maka dia menjawab,
“Bagi anak perempuan setengah dan saudara perempuan setengah serta datangilah
Ibnu Mas’ud sehingga dia akan mengikutiku.” Lalu Ibnu Mas’ud ditanya dan dia
diberitahu tentang ucapan Abu Musa seraya berkata, “Engkau benar-benar telah
keliru dan aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk. Aku putuskan dalam
hal itu dengan putusan yang telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, bagi anak perempuan setengah, anak perempuan dari anak laki-laki
seperenam sebagai penyempurna bagian dua pertiga, sedangkan sisanya untuk
saudara perempuan.” Kemudian kami mendatangi Abu Musa, lalu kami
memberitahukannya dengan ucapan Ibnu Mas’ud, maka dia berkata, “Janganlah kalian
bertanya kepadaku selama orang alim lagi shalih ini berada di tengah-tengah
kalian.”
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia
berkata:
“Harta itu bagi anak, sedangkan wasiat bagi kedua orang tua.
Lalu Allah menghapuskan dari hal itu apa yang Dia sukai, kemudian Dia memberikan
bagi laki-laki itu bagian seperti bagian dua orang perempuan. Dan Dia berikan
bagi kedua orang tua, masing-masing seperenam. Sementara Dia berikan kepada
isteri seperdelapan dan seperempat, sedangkan bagi suami setengah dan
seperempat.” [HR. Al-Bukhari]
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemuiku
sedang aku tengah jatuh sakit. Beliau minta dibawakan air wudhu’, lalu beliau
berwudhu’, kemudian memercikkan air kepadaku dari air wudhu’nya itu, maka aku
terbangun dan kukatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki beberapa
orang saudara perempuan.’ Maka turunlah ayat tentang warisan.”
Sedangkan
kelompok kedua adalah mereka yang menetapkan bagi wanita hak waris tetapi mereka
menyamakan bagiannya dengan bagian orang laki-laki seraya menganggap zhalim
terhadap orang yang tidak menyamakan mereka dalam pembagian warisan. Dan mereka
tidak mengetahui bahwa sebenarnya yang zhalim itu adalah mereka sendiri. Sebab,
mereka telah menzhalimi kaum wanita dan kaum laki-laki, karena yang haq dan adil
adalah apa yang disebutkan di dalam firman Allah, dimana Dia telah memberikan
hak atas kaum wanita dan tidak menzhaliminya sama sekali. Dan Dia memberikan
kaum laki-laki bagiannya sendiri dengan pembagian dari ketetapan Dzat Yang
Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui. Allah Ta’ala berfirman:
"Allah
mensyari'atkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian.
Yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan."
[An-Nisaa': 11]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah
telah menjadikan bagian kaum laki-laki sama dengan dua bagian orang perempuan.
Yang demikian itu disebabkan karena kaum laki-laki membutuhkan tanggung jawab
nafkah, kebutuhan serta beban perdagangan, usaha, dan resiko tanggung jawab,
maka sesuai sekali jika ia diberikan dua kali lipat daripada yang diberikan
kepada wanita.”
Dengan demikian seorang perempuan memiliki hak warisan
secara penuh dalam batas-batas yang ditetapkan oleh al-Qur-an dan as-Sunnah.
Mereka tidak berbuat zhalim dan tidak juga dizhalimi. Allah Ta’ala sendiri telah
berfirman:
"(Tentang) orang tua kalian dan anak-anak kalian, kalian
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagi kalian. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Mahabijaksana." [An-Nisaa': 11]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan, “Firman-Nya:
“Ini adalah ketetapan dari Allah.” Rincian
warisan yang telah kami sebutkan dan pemberian bagian warisan yang lebih banyak
kepada sebagian lainnya adalah suatu ketetapan, hukum, dan keputusan Allah. Dia
Maha Mengetahui dan Mahabijaksana yang meletakkan sesuatu sesuai dengan
tempatnya serta memberikan segala hal sesuai haknya. Untuk itu Dia berfirman:
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”
Demikianlah. Dan
Allah Azza wa Jalla sendiri telah mengancam orang yang menghalangi kaum wanita
dari harta warisan atau memakannya dengan cara yang zhalim dan jahat atau
menetapkan hukum padanya dengan selain yang diturunkan oleh Allah Ta’ala.
Dia
telah berfirman:
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim[ ] secara zhalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (Neraka)." [An-Nisaa': 9-10]
Al-Hafizh Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan firman-Nya:
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah”.
Dalam memelihara harta anak-anak yatim, Allah berfirman: “Dan janganlah kalian
makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian)
tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa).’
Diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir dari jalan al-‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas bahwa hal itu adalah
pendapat yang baik, lagi memperkuat setelahnya, yaitu ancaman memakan harta anak
yatim secara zhalim. Maksudnya, sebagaimana engkau suka memperlakukan anak
keturunan setelahmu, maka demikian itu pula orang-orang memperlakukan anak
keturunan mereka jika kalian menjadi wali mereka. Kemudian beritahu mereka bahwa
barangsiapa memakan harta anak yatim secara zhalim, maka sebenarnya dia memakan
api. Oleh karena itu Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(Neraka).’” [An-Nisaa’: 10]
Artinya, apabila mereka memakan harta-harta
anak yatim tanpa alasan, maka berarti ia telah memakan api yang bergolak di
dalam perut-perut mereka pada hari Kiamat.
Di dalam ash-Shahiihain
disebutkan dari hadits Sulaiman bin Bilal dari Tsaur bin Zaid dari Salim Abu
al-Ghaits, dari Abu Hu-rairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jauhkanlah oleh kalian tujuh hal yang
membinasakan.’ Beliau ditanya, ‘Apakah itu, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda,
‘Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan
cara yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan,
dan menuduh para wanita mukminah berbuat kekejian.’”
Allah Ta’ala
berfirman di akhir-akhir ayat tentang warisan:
"(Hukum-hukum tersebut)
itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah dan barangsiapa yang mentaati Allah
dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan
yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka sedang
ia kekal di dalamnya. Dan baginya siksa yang menghinakan." [An-Nisaa':
13-14]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahj berkata, “Berbagai ketentuan
dan ukuran yang dijadikan Allah untuk ahli waris sesuai dengan kede-katan mereka
kepada si mayit dan kebutuhan mereka kepadanya serta rasa kehilangan mereka
dengan kepergiannya ini adalah batas-batas Allah. Maka, janganlah kalian
melampaui atau melangkahinya. Untuk itu Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
"…Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya…" [An-Nisaa’:
13]
Artinya dalam masalah tersebut. Maka, ia tidak menambahkan atau
mengurangi sebagian ahli waris dengan tipuan atau cara-cara lain. Akan tetapi,
ia menetapkannya sesuai hukum, ketentuan dan pembagian dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala
“Niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan
yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka sedang
ia kekal di dalam-nya. Dan baginya siksa yang menghinakan.” [An-Nisaa':
13-14]
Artinya, karena keadaannya tidak menggunakan hukum Allah dan
menentang Allah dalam hukum-Nya hanya muncul dari keti dakrelaan terhadap
pembagian dan keputusan Allah, untuk itu dibalaslah dengan kehinaan berupa adzab
yang amat pedih.”
Adapun kelompok orang yang mengambil sikap pertengahan
adalah orang-orang yang ridha terhadap hukum dan pembagian Allah Ta’ala,
sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya ketika membicarakan tentang
harta warisan.
[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat,
Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah
As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
________
Footnote
[1]. Anak-anak yatim ini mencakup semua yang belum
baligh, baik laki-laki maupun perempuan.