BILA WARISAN TIDAK MENCUKUPI UNTUK MEMBAYAR HUTANG
Oleh
Ustadz Abu
Humaid Arif Syarifuddin
Di dalam kehidupan sehari-harinya
seseorang tidak terlepas dari beban dan tanggungan. Di antara tanggungan yang
mungkin menimpanya ialah hutang. Terutama ketika kondisi yang mendesak dan amat
membutuhkan, atau kondisi-kondisi lainnya. Baik hutang tersebut terkait dengan
hak manusia ataupun yang terkait dengan hak Allah. Islam sebagai agama yang
sempurna telah mengatur masalah ini, sebagaimana telah tertuang dalam Kitabullah
maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun yang
terkait hak manusia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah
berhutang. Seperti pernah diceritakan oleh Aisyah Radhiyallahu
‘anha.
“Artinya : Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli
makanan dari seorang Yahudi dengan harga pembayaran dibelakang (hutang) dan
memberi jaminan dengan baju besi milik beliau” [Hadits Riwayat Bukhari 2386
–Fathul Bari- dan Muslim 1603]
Hadits tersebut menunjukkan adanya dalil
bolehnya bermuamalah dengan ahli dzimmah (kafir dzimmi), dan boleh memberi suatu
jaminan untuk hutang di saat mukim.[1]
Meski Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berhutang, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang
senantiasa ingin bersegera dalam membayar hutangnya dan melebihkan
pembayarannya. Jabir Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan.
“Artinya : Aku
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau di Masjid –Mis’ar
(perawi dalam sanad) berkata : Saya kira ia menyebut waktu Dhuha-. Lalu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki hutang kepadaku. Maka beliau melunasinya
dan memberiku tambahan”. [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2394 –Fathul Bari- dan
Muslim 715]
Demikianlah seharusnya setiap muslim mencontoh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga, hutang yang menjadi tanggungan diri
seorang muslim, hendaknya segera ditunaikan bila telah memiliki harta yang dapat
untuk melunasinya, tidak mengulur-ulurnya, karena hal itu termasuk bentuk
kezhaliman. Hutang ini tetap akan menjadi tanggungannya, sampai ia mati
sekalipun. Jika belum dilunasi, maka ruhnya akan tergantung sampai terlunasi
hutangnya tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya
: Penguluran (hutang) oleh orang yang mampu (membayar) adalah kezhaliman”
[Hadits Riwayat Al-Bukhari 2400 –Fathul Bari- dan Muslim 1564]
Beliau
Shallalalhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.
“Artinya : Jiwa (ruh)
seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai terlunasi” [Hadits Riwayat
At-Tirmidzi 1078 dan Ibnu Majah 2413, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ 6779]
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak mau menyalati jenazah seseorang,
karena si mayit tersebut masih memiliki tanggungan hutang. Salamah bin Al-Akwa
Radhiyallahu ‘anhu menuturkan.
“Artinya : Bahwasanya, pernah dihadapkan
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang jenazah untuk beliau shalati.
Lalu beliau bertanya, “Apakah dia punya hutang?” Mereka menjawab, “Tidak”, maka
beliau pun menyalatinya. Kemudian didatangkan kepada beliau jenazah yang lain,
lalu beliau bertanya, “Apakah dia punya hutang?”, Mereka menjawab, “Ya” maka
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shalatilah teman kalian ini oleh
kalian”. Abu Qatadah berkata, “Wahai Rasulullah. Saya yang akan melunasi
hutangnya”, maka beliau pun mau menyalatinya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2295
–Fathul Bari-]
Jadi, jika seseorang meninggal, di antara hak yang harus
ditunaikan sebelum dilakukan pembagian warisan dari harta yang ditinggalkan
untuk para ahli warisnya ialah melunasi hutang-hutang si mayit bila ia
meninggalkan hutang, baik hutang yang terkait dengan hak Allah maupun hak
manusia. Meskipun ketika melunasi hutang-hutangnya tersebut sampai menghabiskan
seluruh harta yang ditinggalkannya. [2]
Akan tetapi, jika harta si mayit
tersebut tidak mencukupi untuk melunasi hutang-hutangnya, maka apa yang harus
dilakukan ?
[1]. Jika hutang-hutangnya berkaitan dengan hak manusia, maka
dibolehkan bagi wali mayit untuk meminta pengampunan dari para pemilik harta
hutang atas hutang-hutang si mayit kepada mereka, baik sebagian maupun
keseluruhan. Hal ini terisyaratkan dalam kisah yang dialami oleh Jabir
Radhiyallahu ‘anhu ketika ayahnya terbunuh di medan perang Uhud, sementara ia
menanggung hutang. Dia meminta kepada para pemilik harta hutang untuk
membebaskan sebagian hutang ayahnya, tetapi mereka menolak dan tetap
berkeinginan untuk mengambil hak mereka. Akhirnya Jabir Radhiyallahu ‘anhu
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan memintanya menyelesaikan
masalah tersebut), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada mereka
agar mau meneriman kurma-kurma yang ada di kebun Jabir Radhiyallahu ‘anhu
sebagai pembayarannya, dan menghalalkan (membebaskan) sebagian hutang ayahnya,
tetapi mereka menolak. [Lihat Shahih Al-Bukahri, hadits 2395 dan 2405 – Fathul
Bari]
Dari kisah diatas terdapat dalil, bahwa wali mayit boleh meminta
kepada para pemilik harta hutang untuk mebebaskan hutang-hutang si mayit. Dan
pemilik harta, boleh membebaskan sebagian atau seluruh hutang si mayit,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Baththal dan Ibnu Munayyir. [Lihat Fathul Bari,
3/73]
Dan dari kisah diatas, juga terpahami bahwa bila si mayit tidak
memiliki harta yang cukup untuk melunasi hutang-hutangnya, maka dilunasi oleh
walinya, atau kerabatnya. Sebagaimana juga disebutkan dalam hadits yang
dituturkan Sa’ad bin Athwal Radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengatakan kepadanya.
“Artinya : Sesungguhnya saudaramu
tertahan (ruhnya) karena hutangnya, maka lunasilah hutangnya”. Kemudian Sa’ad
berkata, “Wahai Rasulullah. Aku telah melunasi semuanya, kecuali dua dinar yang
diakui oleh seorang wanita, sementara dia tidak punya bukti”. Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah dia, karena dia berhak” [Hadits
Riwayat Ibnu Majah, 2433, Ahmad 5/7 dan Al-Baihaqi 10/142. Dan dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam shahih Ibnu Majah] [3]
[2]. Namun, jika tidak ada
seorangpun dari keluarga atau kerabat mayit yang bisa melunasi hutang-hutangnya,
maka negara atau pemerintah yang menanggung pelunasan hutangnya, [4] diambilkan
dari Baitul Mal.
Dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.sebagai pemimpin kaum muslimin.
“Artinya : Aku lebih berhak
menolong kaum Mukminin dari diri mereka sendiri. Jika ada seseorabng dari kaum
Mukminin yang meninggal, dan meninggalkan hutang maka aku yang akan
melunasinya…” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2298 –Fathul Bari- dan Muslim 1619 dari
Abu Haurairah Radhiyallahu ‘anhu]
Maksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ialah, akan melunasinya dari harta Baitul Mal, yang terdiri dari ghanimah
(harta rampasan perang), jizyah (dari orang kafir yang berada dalam naungan kaum
Muslimin), infak atau shadaqah serta zakat. [5]
Sebagiamana yang dipahami
dari pekataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir Radhiyallahu ‘anhu
(di saat ia tidak mampu melunasi hutang-hutang ayahnya yang wafat dalam keadaan
meninggalkan hutang).
“Artinya : Kalaulah telah datang harta (jizyah)
dari Bahrain, niscaya aku memberimu sekian dan sekian” [Hadits Riwayat
Al-Bukahri 2296 –Fathul Bari- dan Muslim 2314]
Dan jika negara atau
pemerintah tidak menanggungnya, kemudian ada diantara kaum Muslimin yang siap
menanggungnya, maka hal itu dibolehkan sebagaimana kandungan hadits Salamah bin
Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu di atas. Hal itu memberi pelajaran bahwa mayit dapat
memperoleh dengan dilunasinya hutang-hutangnya, meskipun oleh selain anaknya.
Dengan demikian berarti akan membebaskannya dari adzab. [6]
Berbeda
halnya dengan shadaqah, karena si mayit bisa memperoleh manfaat dan pahala dari
shadaqah atas nama dirinya yang dilakukan oleh anaknya saja. Sebab anak
merupakan hasil usaha orang tua, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
“Artinya : Dan bahwasanya, seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya” [An-Najm : 39]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya,
sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang ialah dari hasil usahanya sendiri. Dan
anaknya, termasuk dari hasil usahanya” [Hadits Riwayat Abu Dawud 3528, An-Nasa’i
4449 dan 4451, At-Tirmidzi 1358 –dengan lafazh jamak- Ibnu Majah 2137. Dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami 2208 dan tahqiq Misykatul
Mashabih 2770] [7]
[3]. Jika hutang si mayit berkaitan dengan hak Allah
seperti nadzar haji, maka wajib ditunaikan oleh si mayit dengan harta si mayit
bila mencukupi. Sedangkan bila harta si mayit tidak mencukupi ketika wafatnya,
maka ditanggung oleh walinya yang akan menghajikan untuk si mayit, sebagaimana
kandungan dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah ada seorang
wanita dari bani Juhainah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
berkata :
“Artinya : Sesungguhnya ibuku telah bernadzar haji, tetapi
belum berhaji sampai meninggalnya, apakah aku harus menghajikan untuknya?” Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, hajikanlah untuknya. Bukankah jika
ibumu menanggung hutang maka kamu yang akan melunasinya? Tunaikanlah hak Allah,
karena hak Allah lebih utama untuk ditunaikan” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 1852-
Fathul Bari]
[4]. Jika ia memiliki hutang yang berkaitan dengan hak Allah
dan hak manusia, manakah yang lebih dahulu ditunaikan?
Dalam permasalahan
ini, para ulama berbebda pendapat dalam tiga kelompok.[8]
Pertama : Harta
si mayit yang ada dibagikan untuk hutang-hutang tersebut dengan masing-masing
mendapat jatah bagian berdasarkan nisbah (prosentase), seperti pada kejadian
seorang yang mengalami kebangkrutan, pailit (muflis), (yaitu) ketika dia
menanggung hutang-hutang yang melampaui harta miliknya. Ini adalah pendapat
ulama madzhab Hambali.
Kedua : Diutamakan hutang-hutang yang berkait
dengan hak manusia, dengan mempertimbangkan oleh sifat asal manusia yang bakhil
(tidak memaafkan). Adapun hak Allah dibangun atas dasar sifat Allah yang suka
memaafkan. Ini adalah pendapat ulama madzhab Hanafi dan Maliki.
Ketiga :
Yang benar adalah diutamakan hak Allah daripada hak manusia, berdasarkan
keumuman hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu di atas, yaitu ketika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Tunaikan hak Allah,
karena hak Allah lebih utama untuk ditunaikan” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 1852
–Fathul Bari-] [9]
Pendapat ketiga ini merupan pendapat ulama madzhab
Syafi’i. Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun
IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
__________
Foote Note
[1]. Lihat
Syarhu Shahih Muslim 11/33
[2]. Lihat juga Ahkamul Janaiz, hal. 25
[3].
Lihat Ahkamul Janaiz hal.25-26
[4]. Lihat Ahkamul Janaiz, hal. 25
[5].
Lihat Fathul Bari 4/558. Dan lihat perbedaan pendapat dalam masalah ini dalam
Syarh Shahih Muslim 11/52
[6]. Lihat Ahkamul Janaiz, hal 28
[7]. Lihat
Ahkamul Janaiz, hal.16
[8]. Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah, hal.26
One Comment
makasih hadis dan penejelasannya tentang warisan.