ILMU MAWARITS, HUKUM YANG TERABAIKAN
Oleh
Ustadz Armen Halim
Naro
PENTINGNYA ILMU MAWARITS
Jika hukum-hukum syari’at,
seperti shalat, zakat, haji dan yang lainnya dijelaskan secara global oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala lalu diperinci oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam Sunnah, sedangkan hukum mawarits diterangkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala secara terperinci di dalam Al-Qur’an.
Sebagai contoh, ketika Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat…”
[Al-Baqarah : 43] atau :”Dan bagi Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah,
bagi siapa yang mampu” [Ali-Imran : 97], baru kemudian Sunnah menjelaskan tata
caranya dengan detail.
Adapun pembagian harta warisan, Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menjelaskan di awal dan di akhir surat An-Nisa. Allah sendiri yang
langsung membagi warisan demi kemaslahatan mahlukNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
menetapkan laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan, tidak ada seorangpun
yang boleh menyangkal hukum dan peraturanNya, karena Dia-lah Dzat yang Maha Adil
dan Bijaksana.
SEKILAS PERBANDINGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN ANTARA ADAT
JAHILIYAH DENGAN ISLAM
Pada zaman Arab Jahiliyah dahulu, harta warisan
berpindah ke tangan anak sulung si mayit, atau kepada saudaranya atau pamannya
sepeninggalnya. Mereka tidak memberikan kepada wanita dan anak-anak. Alasan
mereka, karena wanita dan anak-anak tidak bisa memelihara keamanan dan tidak
bisa berperang.
Sebagaimana yang berlaku pada kedua putri Sa’ad bin Rabi
Radhiyallahu ‘anhu, bahwa paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah
mereka. Ketika permasalahan tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
pamannya tersebut untuk memberi kemenakannya dua pertiga, dan ibu mereka
seperdelapan, dan sisanya barulah dia ambil.
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Orang-orang jahiliyah menjadikan seluruh pembagian kepada laki-laki,
tidak kepada perempuan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan
mereka untuk berbagi sama dalam pembagian, kemudian melebihkan di antara dua
kelompok dengan menjadikan laki-laki memperoleh dua bagian perempuan. Hal itu,
karena laki-laki menangggung biaya nafkah, tanggungan, beban bisnis dan usaha,
serta menanggung kesusahan, Maka, layak dia memperoleh dua kali lipat dari
bagian perempuan” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/433]
Pada sebagian suku di
Indonesia, terutama yang mengambil nasab kepada ibu, misalnya di Minangkabau,
mereka memberlakukan pembagian harta warisan kepada perempuan. Karena tugas yang
semestinya diemban oleh laki-laki, ternyata harus dibebankan kepada perempuan,
mulai dari pengasuhan orang tua ketika lanjut usia, sampai pada pemberian uang
saku untuk kemenakan dan famili.
Karena itu, suami dianjurkan (baca :
diharuskan) tinggal di rumah orang tua perempuan. Dan merupakan aib bagi suami,
jika ia tinggal satu rumah dengan orang tuanya sendiri, jika memang terpaksa
harus tinggal di rumah orang tua. Bahkan di sebagian daerah Minang, laki-laki
dibeli dengan uang sebagaimana dibelinya barang. Setelah itu, sang suami harus
lebih banyak bertandang ke rumah orang tua isteri dari pada ke rumah orang
tuanya sendiri.
Fakta seperti ini berlawanan dengan adat jahiliyah Arab
yang menempatkan laki-laki sangat dominan dan diuntungkan. Dan sebaliknya, pada
adat Minang ini, laki-laki selalu dirugikan. Dikatakan oleh seorang ulama
Minang, Buya Hamka rahimahullah dalam salah satu karangannya :”Jika ada
laki-laki yang paling sengsara, maka dialah laki-laki Minang. Bagaimana tidak,
sewaktu dia masih kecil yang seharusnya dia mendapatkan nasihat dan keputusan
dari orang tuanya dalam semua urusannya dari sekolah hingga menikah, itu semua
diambil alih oleh mamaknya (paman dari pihak ibu), ketika dia telah menikah dia
menjadi semanda di rumahnya sendiri, yang duduk harus di bawah dan di tepi-tepi,
ketika sudah tua renta dan mulai pula sakit-sakitan, dia harus siap-siap untuk
menyingkir karena pembagian rumah dan harta hanya untuk anak perempuan, maka
terpaksalah dia tidur di surau dan kalau makan harus pergi ke lapau (kedai
nasi)”
Ada pula pemikiran yang menyimpang, dengan mengusung isu persamaan
gender yang awalnya didengungkan para orientalis barat, kemudian di negeri kita
dikembangkan oleh orang-orang Islam sendiri yang sekulit dan satu bahasa dengan
kita. Pendapat aneh tersebut ialah, tentang pembagian mawarits harus
disama-ratakan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pembagian waris antara
laki-laki dan perempuan –menurut mereka- tidak adil. Pendapat seperti ini telah
lama dan banyak dilontarkan tokoh-tokoh Islam yang terkontaminasi oleh pemikiran
orientalis, yang kemudian diikuti dan dikembangkan oleh kelompok yang menamakan
diri Jaringan Islam Liberal.
Tentu saja, anggapan aneh seperti diatas
tidak terbukti. Karena syari’at Islam memberlakukan keadilan dan keseimbangan,
dia sampaikan semua hak kepada pemiliknya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi setiap yang
mempunyai hak akan haknya. Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris” [Hadis Riwayat
Abu Dawud 3565, Tirmidzi 2/16, Ibnu Majah 2713, Baihaqi 6/264, Syaikh Al-Albani
rahimahullah berkata “sanadnya hasan”]
Jika adat jahiliyah di luar
syariat Islam hanya melihat kemaslahatan orang-orang kuat, maka Islam menjaga
kemaslahatan orang-orang lemah, karena mereka yang layak dikasihi dan
dilindungi. Disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sesungguhnya engkau lebih baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya,
daripada engkau biarkan mereka miskin meminta-minta kepada manusia” [Hadist
Riwayat Bukhari, Bab Wasiat/2, dan Muslim, Bab Wasiat/5]
Islam juga tidak
mengabaikan orang-orang kuat dan tidak menyia-nyiakan yang lemah. Setiap orang
yang telah memenuhi semua syarat dan tidak ada penghalang yang menghalanginya,
maka dia berhak memperoleh warisan, baik dia besar maupun kecil, laki-laki
maupun perempuan, lemah maupun kuat.
Jika adat jahiliyah hanya
mendahulukan kepentingan orang yang dapat memberikan manfaat, tidak akan
mendapatkan warisan kecuali yang ikut serta dalam berperang dan menjaga
kehormatan, atau yang menjaga orang tua dan yang menjaga tanah persukuan, maka
dalam Islam tidak menapikan andil yang lain. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyatakan, ayah-ayah kalian dan anak-anak kalian tidak akan mengetahui mana
yang lebih banyak manfaatnya. Lihat An-Nisa ayat 11
Dari paparan sekilas
ini, kita dapat menyimpulkan ciri khas pembagian mawarits dalam Islam
sebagaimana berikut.
[1]. Ketetapan warisan merupakan peraturan yang
bersifat sosial dan mengikat bagi siapa saja yang telah bersaksi bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan Muhammad sebagai rasul.
[2].
Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menempatkan setiap pemilik hak pada
posisinya yang layak.
[3]. Dengan pembagian yang adil sesuai syariat
tersebut, berarti Islam telah berusaha memperkuat jalinan persaudaraan dan
memperkokohnya dengan tali silaturrahim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :”
Dan orang-orang yang punya jalinan darah sebagian mereka lebih berhak dari
sebagian yang lainnya, merupakan ketetapan dalam Kitab Allah”. Lihat Al-Qur’an
surat Al-Anfaal ayat 75
[4].Islam sangat mempedulikan kepemilikan
individu, sehingga mendorong seseorang untuk berusaha sekuat tenaga, dengan
harapan orang-orang yang dia cintai akan ikut merasakan manisnya hasil usahanya
tersebut. Hal seperti ini tidak didapatkan pada masa jahiliyah Arab dan hukum
adapt.
[5]. Pembagian harta waris berdasarkan kebutuhan. Semakin
seseorang membutuhkan kepada harta warisan, semakin banyak pula dia
memperolehnya. Oleh karena itu, laki-laki memperoleh bagian lebih besar, karena
laki-laki lebih membutuhkannya daripada perempuan.
ANCAMAN JIKA TIDAK
MENGGUNAKAN HUKUM ISLAM DALAM PEMBAGIAN WARISAN
Orang yang tidak memakai
hukum mawarits dalam pembagian hartanya, sama halnya dengan orang yang tidak
berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ancaman terhadap mereka sama
dengan ancaman terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir” [Al-Maidah : 44]
“Artinya : Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah
orang-orang yang zhallim” [Al-Maidah : 45]
“Artinya : Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik” [Al-Maidah : 47]
Ibnul Jauzi rahimahullah
berkata, “Pernyataan tegas (dalam permasalahan ini) ialah, barangsiapa yang
tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala disertai
pengingkaran, sedangkan ia mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan
hukum tersebut, sebagaimana yang diperbuat oleh Yahudi, maka dia telah kufur.
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala
karena lebih condong kepada hawa nafsu tanpa pengingkaran (terhadap hukum
tersebut), maka dia telah berbuat zhalim atau fasik” [Zadul Masir
2/366]
Dalam masalah pembagian harta waris, secara khusus Allah Subhanahu
wa Ta’ala menyebutkan ancaman bagi orang yang menetapkan pembagian harta waris
apabila tidak berdasarkan hukum Allah. Allah Suhanahu wa Ta’ala berfirman
setelah ayat mawarits.
“Artinya ; (Hukum-hukum mawarits tersebut) itu
adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan
RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang
besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar
ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka,
sedangkan ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa
13-14]
Ayat di atas menerangkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan
surga bagi orang yang membagi harta waris sesuai ketentuannya. Sebaliknya, Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengancam setiap orang yang melampaui batas, tidak
memperdulikan atau berpaling, dan menambah atau mengurangi dengan adzab yang
sangat pedih.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, Rasuluillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :”Seseorang
beramal dengan amal orang yang shalih selamah tujuh puluh tahun. Kemudian ketika
berwasiat, ia melakukan kezhaliman dalam wasiatnya. Maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan menutup amalannya dengan seburuk-buruk amalan, hingga membuatnya
masuk neraka. Dan sesungguhnya, seseorang beramal dengan amal orang fasik selama
tujuh puluh tahun, kemudian dia berlaku adil dalam wasiatnya, niscaya ia dapat
menutup amalnya dengan amal yang terbaik, sehingga dia masuk surga” Abu Hurairah
berkata : “bacalah kalau kalian mau”. Kemudian beliau membaca ayat di atas.
[Hadits riwayat Abu Dawud, 2867, Ibnu Majah 22/3/2703 dan Ahmad /447/7728. Ahmad
Syakir berkata, “Sanadnya Shahih”]
Demikian secara singkat pembahasan
ilmu mawarits yang sangat penting bagi kaum Muslimin. Sebagi pengingat, supaya
kita tidak melalaikannya. Dan mudah-mudahan bermanfaat.
[Disalin dari
majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183]
______
Maraji.
[1]. Tafsir Al-Qur’anul Azhim, Ibnu Katsir,
Maktabah Ulum wal Hikam
[2]. Tafsir Zadul Masir, Ibnu Jauzi
[3]. Irwa’ul
Ghalil Fi Takhrijil Manaris Sabil, Al-Albani, Al-Maktabul Islami
[4].
At-Tahqiqatul Mardhiah Fil Mabahits Al-Faradhiyah, Shalih Al-fauzan, Maktabah
Al-Ma’arif
[5]. Tashil Al-Mawarits wal Washaya, Abdul Karim Muhammad Nashr,
Maktabah Haramain