JUAL BELI GHARAR
Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid
Syamhudi
DEFINISI GHARAR
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar
adalah, al-khathr (pertaruhan) [1]. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah) [2].
Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan)
dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian
[3].
Sehingga , dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang
dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan
; pertaruhan, atau perjudian. [4]
HUKUM GHARAR
Dalam syari’at Islam,
jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ
الْغَرَرِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli
al-hashah dan jual beli gharar” [5]
Dalam sistem jual beli gharar ini
terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah
melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam
firmanNya.
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”
[Al-Baqarah / 2 : 188]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [An-Nisaa
/4 : 29]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual
beli gharar ini adalah larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan
harta orang dengan batil. Begitu pula dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
beliau melarang jual beli gharar ini. [6]. Pelarangan ini juga dikuatkan dengan
pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman Allah.
“Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”
[Al-Maidah / 5 : 90]
Sedangkan jula-beli gharar, menurut keterangan
Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam katagori perjudian. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual beli gharar, seperti menjual burung di
udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya, dan jual
beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan Allah di dalam
Al-Qur’an. [7]
HIKMAH LARANGAN JUAL BELI GHARAR
Diantara hikmah
larangan julan beli ini adalah, karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan
sikap permusuhan pada orang yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan kerugian yang
besar kepada pihak lain. [8]. Larangan ini juga mengandung maksud untuk menjaga
harta agar tidak hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada
orang akibat jenis jual beli ini.
PENTINGNYA MENGENAL KAIDAH
GHARAR
Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting,
karena banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan
adanya unsur taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan : “Larangan jual beli
gharar merupakan pokok penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim
menempatkannya di depan. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini
sangat banyak, tidak terhitung” [9]
JENIS GHARAR
Dilihat dari
peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.
Pertama :
Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli habal al habalah
(janin dari hewan ternak).
Kedua : Jual beli barang yang tidak jelas
(majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan seseorang : “Saya menjual barang
dengan harga seribu rupiah”, tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau
seperti ucapan seseorang : “Aku jual mobilku ini kepadamu dengan harga sepuluh
juta”, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena
ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : “Aku jual tanah kepadamu
seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
Ketiga :
Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak
yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri.[10]. Ketidak jelasan ini juga
terjadi pada harga, barang dan pada akad jual belinya.
Ketidak jelasan
pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar. Sedangkan
ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun
ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan
20 Dinar bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai
pembayarannya.[11]
Syaikh As-Sa’di menyatakan : “Kesimpulan jual-beli
gharar kembali kepada jual-beli ma’dum (belum ada wujudnya), seperti habal al
habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan,
seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidak-jelasan, baik
mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya” [12]
GHARAR YANG
DIPERBOLEHKAN
Jual-beli yang mengandung gharar, menurut hukumnya ada tiga
macam.
[1]. Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti
jual-beli yang belum ada wujudnya (ma’dum).
[2]. Desepakati kebolehannya,
seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta
hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan
karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.
Imam
An-Nawawi menyatakan, pada asalnya jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits
ini. Maksudnya adalah, yang secara jelas mengandung unsur gharar, dan mungkin
dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan
darinya, seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya
kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina. Juga
apakah lahir sempurna atau cacat. Demikian juga membeli kambing yang memiliki
air susu dan sejenisnya. Menurut ijma’, semua (yang demikian) ini diperbolehkan.
Juga, para ulama menukilkan ijma tentang bolehnya barang-barang yang mengandung
gharar yang ringan. Di antaranya, umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju
jubah mahsyuwah” [13]
Ibnul Qayyim juga mengatakan : “Tidak semua gharar
menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin
dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli. Karena,
gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang
mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak
mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalam hammam (pemandian)
dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan. Sehingga
keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar
yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya”. [14]
Dalam kitab
lainnya, Ibnul Qayyim menyatakan, terkadang, sebagian gharar dapat disahkan,
apabila hajat mengharuskannya. Misalnya, seperti ketidaktahuan mutu pondasi
rumah dan membeli kambing hamil dan yang masih memiliki air susu. Hal ini
disebabkan, karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat
menuntutnya, lalu tidak mungkin melihatnya. [15]
Dari sini dapat
disimpulkan, gharar yang diperbolehkan adalah gharar yang ringan, atau ghararnya
tidak ringan namun tidak dapat melepasnya kecuali dengan kesulitan. Oleh karena
itu, Imam An-Nawawi menjelaskan bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila
ada hajat untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali
dengan susah, atau ghararnya ringan. [16]
[3]. Gharar yang masih
diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya
ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang
tanah, bawang dan lain-lainnya.
Para ulama sepakat tentang keberadaan
gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya
perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka –diantaranya Imam Malik- memandang
ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan
menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di antaranya Imam
Syafi’i dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan untuk
dilepas darinya, shingga mengharamkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat yang membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah menyatakan : “Dalam permasalahan ini, madzhab Imam Malik adalah
madzhab terbaik, yaitu diperbolehkan melakukan jual-beli perihal ini dan semua
yang dibutuhkan, atau sedikit ghararnya ; sehingga memperbolehkan jual-beli yang
tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan sebagainya”
[17]
Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan, jual-beli yang tidak tampak di
permukaan tanah tidak memiliki dua perkara tersebut, karena ghararnya ringan,
dan tidak mungkin di lepas. [18]
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, menjadi jelaslah, bahwa tidak semua jual-beli yang mengandung
unsur gharar dilarang. Permasalahan ini, sebagaimana nampak dari pandangan para
ulama, karena permasalahan yang menyangkut gharar ini sangat luas dan banyak.
Dengan mengetahui pandangan para ulama, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala
membimbing kita dalam tafquh fiddin, dan lebih dalam mengenai persoalan halal
dan haram. Wabillahit Taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
04/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, hal.
648
[2]. Majmu Fatawa, 29/22
[3]. Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni
Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar, Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tahqiq
Asyraf Abdulmaqshud, Cet. II, Th 1992M, Dar Al-Jail. Hal.164
[4]. Al-Waaji Fi
Fiqhu Sunnah wa kitab Al-Aziz, Abdul Azhim Badawi, Cet. I, Th.1416H, Dar Ibnu
Rajab, Hal. 332
[5]. HR Muslim, Kitab Al-Buyu, Bab : Buthlaan Bai Al-Hashah
wal Bai Alladzi Fihi Gharar, 1513
[6]. Majmu Fatawa, 29/22
[7]. Mukhtashar
Al-Fatawa Al-Mishriyyah, Ibnu Taimiyyah, Tahqiq Abdulmajid Sulaim, Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, hal. 342
[8]. Bahjah, Op.Cit, 165
[9]. Syarah Shahih Muslim,
10/156
[10]. Catatan Penulis dari pelajaran Nailul Authar yang dismpaikan
Syaikh Abdulqayyum bin Muhammad As-Sahibaani di Fakultas Hadits Universitas
Islam Madinah, Lihat juga Al-Fiqhu Al-Muyassar, Bagian Fiqih Mu’amalah, karya
Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayaar, Prof. Dr Abdullah bin Muhammad
Al-Muthliq dan Dr Muhammad bin Ibrahim Alimusaa, Cet. I, Th. 1425H, hal.
34
[11]. Catatan penulis dari pelajaran Bidayatul Mujtahid, oleh Syaikh Hamd
Al-Hamaad, di Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah, KSA.
[12]. Bahjah,
Op.Cit,. 166
[13]. Majmu Syarhu Al-Muhadzab, Imam An-Nawawi, 9/311
[14].
Zaadul Ma’ad, 5/727
[15]. Syarh Syahih Muslim, 10/144
[16]. Majmu Syarhu
Al-Muhadzab, 9/311
[17]. Majmu Fatawa, 29/33
[18]. Zaadul Ma’ad, 5/728