HUKUM ZAKAT PROFESI
Oleh
Ustadz Muhammad Arifin Badri,
M.A
Pertanyaan.
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu
Alaikum Warohmatulloohi wabarokatuh, Alhamdulillaah wa Shalatu wassalaammu 'alaa
Rosulillaah.
Ustadz yang semoga Allah senantiasa menjagamu...
Tadi
pagi saya ditanya atasan saya perihal Hukum Zakat Profesi:
1. Apakah
Ijtihad/Qiyas yang dipakai oleh ulama yang membolehkan Zakat Profesi itu bisa
dijadikan dalil untuk diamalkan? di Perusahaan saya sudah lama diberlakukan
zakat profesi ini dengan cara potong gaji tiap bulannya berdasarkan kesepakatan
sebelumnya, ada yang mau dan ada pula yang tidak mau dipotong gajinya.
2.
Terus adakah buku yang bagus yang khusus menjelaskan Zakat Profesi
ini!?
Hasan
Jawaban.
[1]. Zakat yang diwajibkan untuk dipungut
dari orang-orang kaya telah dijelaskan dengan gamblang dalam banyak dalil. Dan
zakat adalah permasalahan yang tercakup dalam kategori permasalahan ibadah,
dengan demikian tidak ada peluang untuk berijtihad atau merekayasa permasalahan
baru yang tidak diajarkan dalam dalil. Para ulama' Dari berbagai mazhab telah
menyatakan:
الأَصْلُ فِي العِبَادَاتِ التَّوقِيفُ
"Hukum asal
dalam permasalahan ibadah adalah tauqifi alias terlarang."
Berdasarkan
kaedah ini, para ulama' menjelaskan bahwa barangsiapa yang membolehkan atau
mengamalkan suatu amal ibadah, maka sebelumnya ia berkewajiban untuk mencari
dalil yang membolehkan atau mensyari'atkannya. Bila tidak, maka amalan itu
terlarang atau tercakup dalam amalan bid'ah:
مَنْ عَمِلَ عَمَل لَيْسَ
عَلَيهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ رواه مسلم
"Barang siapa yang mengamalkan
suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan itu tertolak."
[Riwayat Muslim]
Coba anda renungkan: Zakat adalah salah satu rukun
Islam, sebagaimana syahadatain, shalat, puasa, dan haji. Mungkinkah anda dapat
menolerir bila ada seseorang yang berijtihad pada masalah-masalah tersebut
dengan mewajibkan sholat selain sholat lima waktu, atau mengubah-ubah
ketentuannya; subuh menjadi 4 rakaat, maghrib 5 rakaat, atau waktunya
digabungkan jadi satu. Ucapan syahadat ditambahi dengan ucapan lainnya yang
selaras dengan perkembangan pola hidup umat manusia, begitu juga haji, diadakan
di masing-masing negara guna efisiensi dana umat dan pemerataan pendapatan dan
kesejahteraan umat. Dan puasa ramadhan dibagi pada setiap bulan sehingga lebih
ringan dan tidak memberatkan para pekerja pabrik dan pekerja berat
lainnya.
Mungkinkah anda dapat menerima ijtihad ngawur semacam ini? Bila
anda tidak menerimanya, maka semestinya anda juga tidak menerima ijtihad zakat
profesi, karena sama-sama ijtihad dalam amal ibadah dan rukun
Islam.
Terlebih-lebih telah terbukti dalam sejarah bahwa para sahabat
nabi dan juga generasi setelah mereka tidak pernah mengenal apa yang
disebut-sebut dengan zakat profesi, padahal apa yang disebut dengan gaji telah
dikenal sejak lama, hanya beda penyebutannya saja. Dahulu disebut dengan al
'atha' dan sekarang disebut dengan gaji atau raatib atau mukafaah. Tentu
perbedaan nama ini tidak sepantasnya mengubah hukum.
Ditambah lagi, bila
kita mengkaji pendapat ini dengan seksama, maka kita akan dapatkan banyak
kejanggalan dan penyelewengan. Berikut sekilas bukti akan kejanggalan dan
penyelewengan tersebut:
1. Orang-orang yang mewajibkan zakat profesi
meng-qiyaskan (menyamakan) zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, tanpa
memperdulikan perbedaan antara keduanya. Zakat hasil pertanian adalah 1/10
(seper sepuluh) dari hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan
1/20 (seper dua puluh), bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat
profesi, maka zakatnya adalah 2,5 %, sehingga qiyas semacam ini adalah qiyas
yang benar-benar aneh dan menyeleweng. Seharusnya qiyas yang benar ialah dengan
mewajibkan zakat profesi sebesar 1/10 (seper sepuluh) bagi profesi yang tidak
membutuhkan modal, dan 1/20 (seper dua puluh), tentu ini sangat memberatkan, dan
orang-orang yang mengatakan ada zakat profesi tidak akan berani memfatwakan
zakat profesi sebesar ini.
2. Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka
gaji lebih tepat bila diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, karena sama-sama
sebagai alat jual beli, dan standar nilai barang.
3. Orang-orang yang
memfatwakan zakat profesi telah nyata-nyata melanggar ijma'/kesepakatan ulama'
selama 14 abad, yaitu dengan memfatwakan wajibnya zakat pada gedung, tanah dan
yang serupa.
4. Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara
umum dan umat Islam secara khusus, keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala.
Berikut beberapa buktinya:
Sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu 'anhu
pernah menjalankan suatu tugas dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
lalu iapun di beri upah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Pada
awalnya, sahabat Umar radhiallahu 'anhu menolak upah tersebut, akan tetapi
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: "Bila engkau diberi
sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah." [Riwayat
Muslim]
Seusai sahabat Abu Bakar radhiallahu 'anhu dibai'at untuk
menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana
kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan, beliau berjumpa dengan Umar bin Al
Khatthab radhiallahu 'anhu, maka Umarpun bertanya kepadanya: "Hendak kemanakah
engkau?" Abu Bakar menjawab: "Ke pasar." Umar kembali bertanya: "Walaupun engkau
telah mengemban tugas yang menyibukkanmu?" Abu Bakar menjawab: "Subhanallah,
tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?" Umarpun menjawab:
"Kita akan meberimu secukupmu." [Riwayat Ibnu Sa'ad dan Al Baihaqy]
Imam
Al Bukhary juga meriwayatkan pengakuan sahabat Abu Bakar radhiallahu 'anhu
tentang hal ini:
لقد عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لم تَكُنْ تَعْجِزُ عن
مؤونة أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أبي بَكْرٍ من
هذا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فيه.
"Sungguh kaumku telah
mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku, sedangkan
sekarang, aku disibukkan oleh urusan umat Islam, maka sekarang keluarga Abu
Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul maal), sedangkan ia akan
bertugas mengatur urusan mereka." [Riwayat Bukhary]
Ini semua membuktikan
bahwa gaji dalam kehidupan umat islam bukanlah suatu hal yang baru, akan tetapi,
selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satupun ulama' yang memfatwakan adanya
zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada, yang ada
hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai
nishab dan telah berlalu satu haul (tahun).
Oleh karena itu ulama' ahlul
ijtihaad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini, diantara mereka
adalah Syeikh Bin Baz, beliau berkata: "Zakat gaji yang berupa uang, perlu
diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai
satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab,
atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib
di zakati." [Maqalaat Al Mutanawwi'ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134.
Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin,
Majmu' Fatawa wa Ar Rasaa'il 18/178.]
Fatwa serupa juga telah diedarkan
oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, berikut
fatwanya:
"Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta
yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat
wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak
kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji
pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu
sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang
lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan
hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang)
telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua,
maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu tahun
(haul)." [Majmu' Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/281,
fatwa no: 1360]
Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak
pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam berikut:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ. رواه
مسلم
"Tidaklah sedekah itu akan mengurangi harta kekayaan." [Riwayat
Muslim]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka saya mengusulkan agar anda
mengusulkan kepada perusahaan anda atau atasan anda agar menghapuskan pemotongan
gaji yang selama ini telah berlangsung dengan alasan zakat profesi. Karena bisa
saja dari sekian banyak yang dipotong gajinya belum memenuhi kriteria wajib
zakat. Karena harta yang berhasil ia kumpulkan/tabungkan belum mencapai nishab.
Atau kalaupun telah mencapai nishab mungkin belum berlalu satu tahun/haul,
karena telah habis dibelanjakan pada kebutuhan yang halal. Dan kalaupun telah
mencapai satu nishab dan telah berlalu satu haul/tahun, maka mungkin kewajiban
zakat yang harus ia bayarkan tidak sebesar yang dipotong selama ini. Wallahu
ta'ala a'alam bis showaab.
[2]. Berdasarkan jawaban pertama, maka tidak
perlu anda mencari buku-buku atau tulisan-tulisan yang membahasa masalah zakat
profesi. Cukuplah anda dan juga umat Islam lainnya mengamalkan zakat-zakat yang
telah nyata-nyata disepakati oleh seluruh ulama' umat islam sepanjang sejarah.
Dan itu telah dibahas tuntas oleh para ulama' kita dalam setiap kitab-kitab
fiqih.
Wallahu a'alam bisshawab.