PAJAK DALAM ISLAM
Oleh
Abu Ibrahim Muhammad
Ali
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling
menzhalimi satu dengan yang lainnya, Allah dengan tegas mengharamkan perbuatan
zhalim atas diri-Nya, juga atas segenap makhluk-Nya. [1] Kezhaliman dengan
berbagai ragamnya telah menyebar dan berlangsung turun temurun dari generasi ke
generasi, dan ini merupakan salah satu tanda akan datangnya hari kiamat
sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda.
“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia
tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang
haram” [HR Bukhari kitab Al-Buyu : 7]
Di antara bentuk kezhaliman yang
hampir merata di tanah air kita adalah diterapkannya sistem perpajakan yang
dibebankan kepada masyarakat secara umum, terutama kaum muslimin, dengan alasan
harta tersebut dikembalikan untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama. Untuk
itulah, akan kami jelaskan masalah pajak ditinjau dari hukumnya dan beberapa hal
berkaitan dengan pajak tersebut, di antaranya ialah sikap kaum muslimin yang
harus taat kepada pemerintah dalam masalah ini. Mudah-mudahan
bermanfaat.
DEFINISI PAJAK
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal
dengan nama Al-Usyr [2] atau Al-Maks, atau bisa juga disebut Adh-Dharibah, yang
artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak”
[3]. Atau suatu ketika bisa disebut Al-Kharaj, akan tetapi Al-Kharaj biasa
digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara
khusus.[4]
Sedangkan para pemungutnya disebut Shahibul Maks atau
Al-Asysyar.
Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran
yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang
dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan
umum”[5]
MACAM-MACAM PAJAK
Diantara macam pajak yang sering kita
jumpai ialah :
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan
terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
- Pajak
Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan
seseorang.
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Pajak Barang dan Jasa
-
Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
- Pajak Perseroan, yaitu pajak yang
dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
-
Pajak Transit/Peron dan sebagainya.
ADAKAH PAJAK BUMI/KHARAJ DALAM
ISLAM?
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121)
menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam.
1).
Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti
yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki
tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam,
dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada
tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir
saja.
2). Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan
peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah
tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah
itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun
orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan
membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak
bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak,
melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
pajak pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas orang-orang kafir
saja.
HUKUM PAJAK DAN PEMUNGUTNYA MENURUT ISLAM
Dalam Islam telah
dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau
khusus masalah pajak itu sendiri.
Adapun dalil secara umum, semisal
firman Allah.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-NIsa : 29]
Dalam ayat
diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang
tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan
harta sesamanya
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali
dengan kerelaan dari pemiliknya” [6]
Adapun dalil secara khusus, ada
beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para
penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR
Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
Hadits ini dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya bagus, para
perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah
; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah
adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.
Dan hadits tersebut dikuatkan oleh
hadits lain, seperti.
“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ;
“Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas
penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata :
‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143,
Abu Dawud 2930]
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah
jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka
aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah
Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada
kitab Shahih At-Targhib” [7]
Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan
oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim
hal. 45
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan
dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid),
setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid
Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya,
lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil
mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di
tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila
penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim
20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221,
Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716]
Imam Nawawi rahimahullah
menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung
diantaranya ialah : “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan
termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut
oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti” [Lihat :
Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi]
KESEPAKATAN ULAMA ATAS
HARAMNYA PAJAK
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam
kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah :”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para
pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib
dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang
(biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang
dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang
dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat
besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum
muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan)
setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir
yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah
sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka
perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para
ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan
negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk
mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam
perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan
saja” [8]
PAJAK BUKAN ZAKAT
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah
dalam kitabnya Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang telah
dihapus kewajibannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum
muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah”. Kemudian beliau
melanjutkan : “… hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat..”
[9]
Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di
antaranya.
1). Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang
ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai
nishabynya [10]. Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali
ditentukan oleh penguasaa di suatu tempat.
2). Zakat berlaku bagi kaum
muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan
hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir [11] karena orang kafir
tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak
berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum
muslimin
3). Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa
ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat
termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan
dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak. [12].
4). Zakat
adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang cicontohkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang
jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab,
dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang
dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya. [Lihat Al-Amwal oleh
Abu Ubaid Al-Qasim]
PERSAKSIAN PARA SALAFUSH SHALIH TENTANG PAJAK
1).
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya apakah Umar bin Khaththab
Radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab :
“Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya” [Syarh Ma’anil Atsar 2/31]
2).
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin
Arthah, di dalamnya ia berkata : “Hapuskan dari manusia (kaum muslimin)
Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja,
melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh
Allah.
“…Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak
mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat
kerusakan” [Hud : 85]
Kemudian beliau melanjutkan : “Maka barangsiapa
yang menyerahkan zakatnya (kepada kita), terimalah ia, dan barangsiapa yang
tidak menunaikannya, maka cukuplah Allah yang akan membuat perhitungan
dengannya” [Ahkam Ahli Dzimmah 1/331]
3). Imam Ahmad rahimahullah juga
mengharamkan pungutan pajak dari kaum muslimin, sebagaimana yang dinukil oleh
Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam [13]
4) Imam
Al-Jashshash rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (4/366) : “Yang
ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pungutan
sepersepuluh adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat,
sesungguhnya ia bukanlah pajak. Zakat termasuk bagian dari harta yang wajib
(untuk dikeluarkan) diambil oleh imam/pemimpin (dikembalikan untuk orang-orang
yang berhak)”
5). Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya
Syarh As-Sunnah (10/61) :” Yang dimaksud dengan sebutan Shahibul Maks, adalah
mereka yang biasa memungut pajak dari para pedagang yang berlalu di wilayah
mereka dengan memberi nama Al-Usyr. Adapun para petugas yang bertugas
mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau yang bertugas memungut upeti dari para ahli
dzimmah atau yang telah mempunyai perjanjian (dengan pemerintah Islam), maka hal
ini memang ada dalam syari’at Islam selama mereka tidak melampaui batas dalam
hal itu. Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan berbuat
zhalim. Wallahu a’lam.
6). Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya,
Nailul Authar (4/279) mengatakan : “Kata Shahibul Maks adalah para pemungut
pajak dari manusia tanpa haq”.
7). Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam
kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan : “Adapun kemungkaran seperti
pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan
itu)”.
PEMERINTAH BERHAK ATAS RAKYATNYA
Berkata Imam Ibnu Hazm
rahimahullah dalam kitabnya, Al-Muhalla (4/281) ; “Orang-orang kaya ditempatnya
masing-masing mempunyai kewajiban menolong orang-orang fakir dan miskin, dan
pemerintah pada saat itu berhak memaksa orang-orang kaya (untuk menolong
fakir-miskin) apabila tidak ditegakkan/dibayar zakat kepada
fakir-miskin..”
Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan firman
Allah.
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan ….” [Al-Isra :
26]
Dalam ayat di atas dan nash-nash semisalnya, seperti Al-Qur’an surat
An-Nisa ; 36, Muhammad : 42-44 dan hadits yang menunjukkan bahwa : “Siapa yang
tidak mengasihi orang lain maka dia tidak dikasihi oleh Allah” [HR Muslim : 66],
semuanya menunjukkan bahwa orang-orang fakir dan miskin mempunyai hak yang harus
ditunaikan oleh orang-orang kaya. Dan barangsiapa (di antara orang kaya melihat
ada orang yang sedang kelaparan kemudian tidak menolongnya, maka dia tidak akan
dikasihi oleh Allah: [16]
BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP
PAJAK?
Setelah jelas bahwa pajak merupakan salah satu bentuk kezhaliman yang
nyata, timbul pertanyaan : “Apakah seorang muslim menolak dan menghindar dari
praktek pajak yang sedang berjalan atau sebaliknya?”
Jawabnya.
Setiap
muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori
muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan. Memang,
pajak termasuk kezhaliman yang nyata. Akan tetapi, kezhaliman yang dilakukan
pemipimpin tidak membuat ketaatan rakyat kepadanya gugur/batal, bahkan setiap
muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya bukan
kepada kemaksiatan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan
kepada para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para
pemimpin yang zhalim. Kemudian beliau ditanya tentang sikap kaum muslimin :
“Bolehkah melawan/memberontak?”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan shalat”
[15]
Bahkan kezhaliman pemimpin terhadap rakyatnya dalam masalah harta
telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana seharusnya
rakyat menyikapinya. Dalam sebuah hadits yang shahih, setelah berwasiat kepada
kaum muslimin agar selalu taat kepada Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya selalu mendengar dan mentaati
pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang hamba sahaya (selagi dia
muslim). [16]
Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimin yang
zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman
Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin
seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab.
“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul
punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu” [HR Muslim kitab Al-Imarah :
1847]
Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan
yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan : “Melawan pemimpin pada
saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka.
Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu
madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan
berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir
menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu)
[17]
DIANTARA SUMBER PEMASUKAN NEGARA
Di antara sumber pemasukan
negara yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam
ialah.
1). Zakat, yaitu kewajiban setiap muslim yang mempunyai harta
hingga mencapai nishabnya. Di samping pemilik harta berhak mengeluarkan sendiri
zakatnya dan diberikan kepada yang membutuhkan, penguasa juga mempunyai hak
untuk menarik zakat dari kaum muslimin yang memiliki harta, lebih-lebih apabila
mereka menolaknya, kemudian zakat itu dikumpulkan oleh para petugas zakat (amil)
yang ditugaskan oleh pemimpinnya, dan dibagikan sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah : 60. Hal ini bisa
kita lihat dengan adanya amil-amil zakat yang ditugaskan oleh pemimpin kaum
muslimin baik yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam
ataupun generasi berikutnya.
2). Harta warisan yang tidak habis terbagi.
Di dalam ilmu waris (faraidh) terdapat pembahasan harta yang tidak terbagi. Ada
dua pendapat yang masyhur di kalangan para ahli faraidh. Pendapat yang pertama,
harus dikembalikan kepada masing-masing ahli waris disesuaikan dengan kedekatan
mereka kepada mayit, kecuali salah satu dari istri atau suami. Pendapat kedua
mengatakan, semua harta yang tidak terbagi/kelebihan, maka dikembalikan ke
baitul mal/kas negara. Walau demikian, suatu ketika harta yang berlebihan itu
tidak bisa dikembalikan kepada masing-masing ahli waris, semisal ada seorang
meninggal dan ahli warisnya seorang janda saja, maka janda tersebut mendapat
haknya 1/6, dan sisanya –mau tidak mau- harus dikembalikan ke baitul mal.
[18]
3). Jizyah, adalah harta/upeti yang diambil dari orang-orang kafir
yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya.
[19]
4). Ghanimah dan fai’. Ghanimah adalah harta orang kafir (al-harbi)
yang dikuasai oleh kaum muslimin dengan adanya peperangan. Sedangkan fai’ adalah
harta orang kafir al-harbi yang ditinggalkan dan dikuasai oleh kaum muslimin
tanpa adanya peperangan. Ghanimah sudah ditentukan oleh Allah pembagiannya dalam
Al-Qur’an surat Al-Anfal : 41, yaitu 4/5 untuk pasukan perang sedangkan 1/5 yang
tersisa untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu
sabil. Dan penyalurannya melalui baitul mal. Sedangkan fai’ pembagiannya
sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr : 7, yaitu semuanya untuk Allah,
RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan
penyalurannya (juga) melalui mal.
5). Kharaj, hal ini telah kami jelaskan
dalam point : Adakah Pajak Bumi Dalam Islam?”, diatas.
6). Shadaqah
tathawwu, yaitu rakyat menyumbang dengan sukarela kepada negara yang digunakan
untuk kepentingan bersama.
7). Hasil tambang dan semisalnya.
Atau
dari pemasukan-pemasukan lain yang dapat menopang anggaran kebutuhan pemerintah,
selain pemasukan dengan cara kezhaliman semisal badan usaha milik
negara.
PENUTUP
Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya
kita mengingat kembali bahwa kemiskinan, kelemahan, musibah yang silih berganti,
kekalahan, kehinaan, dan lainnya ; di antara sebabnya yang terbesar tidak lain
ialah dari tangan-tangan manusia itu sendiri. [Ar-Rum : 41]
Di antara
manusia ada yang terheran-heran ketika dikatakan pajak adalah haram dan sebuah
kezhaliman nyata. Mereka mengatakan mustahil suatu negara akan berjalan tanpa
pajak.
Maka hal ini dapat kita jawab : Bahwa Allah telah menjanjikan bagi
penduduk negeri yang mau beriman dan bertaqwa (yaitu dengan menjalankan perintah
dan menjauhi laranganNya), mereka akan dijamin oleh Allah mendapatkan kebaikan
hidup mereka di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak, sebagaimana Allah
berfirman.
“Seandainya penduduk suatu negeri mau beriman dan beramal
shalih, niscaya Kami limpahkan kepada merka berkah (kebaikan yang melimpah) baik
dari langit atau dari bumi, tetapi mereka mendustakan (tidak mau beriman dan
beramal shalih), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” [Al-A’raf :
96]
Ketergantungan kita kepada diterapkannya pajak, merupakan salah satu
akibat dari pelanggaran ayat di atas, sehingga kita disiksa dengan pajak itu
sendiri. Salah satu bukti kita melanggar ayat di atas adalah betapa banyak di
kalangan kita yang tidak membayar zakatnya terutama zakat mal. Ini adalah sebuah
pelanggaran. Belum terhitung pelanggaran-pelanggaran lain, baik yang nampak atau
yang samara.
Kalau manusia mau beriman dan beramal shalih dengan
menjalankan semua perintah (di antaranya membayar zakat sebagaimana mestinya)
dan menjauhi segala laranganNya (di antaranya menanggalkan beban pajak atas kaum
muslimin), niscaya Allah akan berikan janji-Nya yaitu keberkahan yang turun dari
langit dan dari bumi.
Bukankah kita menyaksikan beberapa negeri yang
kondisi alamnya kering lagi tandus, tetapi tatkala mereka mengindahkan sebagian
besar perintah Allah, maka mereka mendapatkan apa yang dijanjikan Allah berupa
berkah/kebaikan yang melimpah dari langit dan bumi, mereka dapat merasakan semua
kenikmatan dunia. Sebaliknya, betapa banyak negeri yang kondisi alamnya sangat
strategis untuk bercocok tanam dan sangat subur, tetapi tatkala penduduknya
ingkar kepada Allah dan tidak mengindahkan sebagian besar perintah-Nya, maka
Allah hukum mereka dengan ketiadaan berkah dari langit dan bumi mereka, kita
melihat hujan sering turun, tanah mereka subur nan hijau, tetapi mereka tidk
pernah merasakan berkah yang mereka harapkan. Allahu A’lam.
[Disalin dari
Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya'ban 1427/2006. Diterbitkan Oleh Lajnah
Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu
Gresik Jatim]
__________
Footnotes
[1]. Lihat Ali-Imran : 117 dan HR
Muslim 2578 dari jalan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu.
[2]. Lihat Lisanul Arab
9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan
Mukhtar Ash-Shihah hal. 182
[3]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet
Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi
11/202, dan Nailul Authar 4/559 Cet Darul Kitab Al-Arabi
[4]. Lihat Al-Mughni
4/186-203
[5]. Dinukil definisi pajak ini dari buku Nasehat Bijak Tuk Para
Pemungut Pajak oleh Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, dan sebagai amanah ilmiah
kami katakan bahwa tulisan ini banyak mengambil faedah dari buku
tersebut.
[6]. Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa
Dha’if Jami’ush Shagir 7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459.
[7].
Lihat Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh
Al-Albani
[8]. Lihat Nasehat Bijak hal. 75-77 oleh Ibnu Saini, dan Al-washim
wal Qawashim hal. 49 oleh Dr Rabi Al-Madkhali.
[9]. Lihat Nasehat Bijak Tuk
Pemungut Pajak hal. 88 oleh Ibnu Saini
[10]. Lihat At-Taubah : 60
[11].
Lihat Al-Mughni 4/200
[12]. Asal perkataan ini diucapkan oleh Al-Jashshah
dalam Ahkamul Qur’an 4/366
[13]. Lihat Iqadh Al-Himmam Al-muntaqa Jami’
Al-Ulum wal Hikam hal. 157
[14]. Asal perkataan ini dinukil dari perkataan
Ibnu Hazm rahimahullah, dengan penyesuaian. (Lihat. Al-Muhalla bil-Atsar dengan
tahqiq Dr Abdul Ghaffar Sulaiman Al-Bandari 4/281-282
[15]. HR Muslim : 1855
dari jalan Auf bin Malik Al-Asyja’i Radhiyallahu ‘anhu
[16]. Hadits no. 28
dalam kitab Al-Arbaun An-Nawawi diriwayatkan oleh Abu Dawud no 2676, dan Ahmad
4/126.
[17]. Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah
halaman.93
[18]. Lihat Al-Khulashoh Fi Ilmi Al-Faro’idh hal. 375-385
[19].
Lihat Lisan Al-Arab 2/280/281 cetakan Dar Ihya At-Turots